Tantangan Lingkungan dan Ekonomi di Balik Penggunaan Briket Batu Bara Indonesia 2025
Pada tahun 2025, briket batu bara kembali menjadi sorotan dalam wacana energi nasional. Di tengah krisis keterjangkauan LPG, ketimpangan akses energi, dan surplus batu bara domestik, pemerintah Indonesia mempromosikan briket sebagai solusi transisional yang berbasis sumber daya lokal. Namun, di balik manfaat ekonominya yang nyata—penghematan devisa, pemberdayaan UMKM, dan stabilitas harga energi—terdapat tantangan lingkungan dan ekonomi struktural yang tidak bisa diabaikan.
Penggunaan briket batu bara menghadirkan dilema klasik pembangunan: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi jangka pendek dengan komitmen iklim jangka panjang. Artikel ini mengupas secara kritis dan komprehensif tantangan ganda yang menyertai kebangkitan briket batu bara di Indonesia pada 2025—mulai dari emisi karbon, risiko kesehatan, ketergantungan pada fosil, hingga kerentanan pasar dan ketimpangan teknologi—serta upaya pemerintah dan masyarakat dalam meresponsnya.
Tantangan Lingkungan
1. Emisi Gas Rumah Kaca dan Kontribusi terhadap Perubahan Iklim
Meskipun briket batu bara modern lebih efisien daripada batu bara mentah, ia tetap merupakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂), sulfur dioksida (SO₂), nitrogen oksida (NOₓ), dan partikulat halus (PM2.5).
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2025:
- Penggunaan 1 kg briket menghasilkan 2,3–2,6 kg CO₂.
- Dengan konsumsi nasional 8,7 juta ton/tahun, emisi CO₂ dari briket mencapai 20–22,6 juta ton/tahun.
- Angka ini setara dengan 1,8% dari total emisi sektor energi nasional, atau 0,45% dari total emisi nasional.
Meski proporsinya kecil, angka ini bertentangan dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dan menurunkan emisi sektor energi sebesar 314 juta ton CO₂e pada 2030.
2. Polusi Udara dan Dampak Kesehatan
Penggunaan briket di rumah tangga—terutama tanpa kompor hemat emisi—berpotensi menimbulkan polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution). Partikulat halus (PM2.5) dan karbon monoksida (CO) dari pembakaran tidak sempurna dapat menyebabkan:
- Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
- Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
- Risiko kardiovaskular, terutama pada perempuan dan anak-anak
Studi Kementerian Kesehatan (2024) di 12 kabupaten pengguna briket menunjukkan peningkatan kasus ISPA sebesar 18% di daerah yang tidak menggunakan kompor standar. Ini menegaskan bahwa akses teknologi bersih sama pentingnya dengan akses bahan bakar.
3. Tekanan terhadap Sumber Daya Alam dan Limbah Produksi
Produksi briket tetap bergantung pada ekstraksi batu bara, yang berdampak pada:
- Degradasi lahan
- Pencemaran air akibat limpasan tambang
- Gangguan ekosistem, terutama di kawasan hutan dan gambut
Selain itu, meski briket memanfaatkan coal fines (limbah tambang), proses pencetakan menghasilkan limbah binder dan abu sisa pembakaran yang belum sepenuhnya dikelola secara berkelanjutan. Di banyak daerah, abu briket dibuang sembarangan, berpotensi mencemari tanah dan sumber air.
Tantangan Ekonomi
1. Ketergantungan Jangka Panjang pada Energi Fosil
Salah satu risiko terbesar adalah terjebak dalam ketergantungan energi fosil. Meski diposisikan sebagai solusi transisional, pengembangan infrastruktur briket—pabrik, distribusi, kompor—dapat menciptakan lock-in effect, di mana masyarakat dan pemerintah daerah enggan beralih ke energi terbarukan karena telah berinvestasi besar pada sistem briket.
Di beberapa desa di Kalimantan Selatan, misalnya, alokasi dana desa untuk energi hampir seluruhnya terserap oleh program briket, mengurangi ruang fiskal untuk panel surya atau biogas.
2. Ketimpangan Akses terhadap Teknologi Bersih
Tidak semua pengguna briket mampu mengakses kompor hemat emisi yang harganya masih sekitar Rp 350.000–500.000/unit. Tanpa subsidi atau program hibah, rumah tangga miskin terpaksa menggunakan kompor tradisional dari kaleng bekas, yang justru meningkatkan emisi dan risiko kebakaran.
Data BPS (2025) menunjukkan hanya 38% pengguna briket di pedesaan yang menggunakan kompor bersertifikat—sisanya masih menggunakan metode pembakaran konvensional.
3. Volatilitas Pasar dan Ketergantungan pada Kebijakan
Industri briket sangat rentan terhadap:
- Perubahan kebijakan energi: Jika subsidi LPG diperluas atau harga BBM turun, permintaan briket bisa anjlok.
- Regulasi lingkungan: Larangan penggunaan batu bara di tingkat provinsi atau kabupaten (seperti di Bali dan Yogyakarta) membatasi pasar.
- Persaingan dengan energi terbarukan: Harga panel surya turun 60% sejak 2020, membuatnya semakin kompetitif bahkan di pedesaan.
Tanpa model bisnis yang tangguh, usaha briket skala UMKM berisiko kolaps dalam 2–3 tahun.
4. Stigma Global dan Hambatan Ekspor
Di pasar internasional, produk berbasis batu bara—termasuk briket—menghadapi stigma lingkungan yang kuat. Negara-negara maju dan investor ESG (Environmental, Social, Governance) cenderung menghindari kemitraan dengan sektor batu bara, meski dalam bentuk olahan.
Akibatnya, ekspor briket Indonesia terbatas pada negara berkembang dengan standar lingkungan longgar, sehingga margin keuntungan rendah dan pasar tidak stabil.
Respons Kebijakan dan Solusi yang Ditempuh
Menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia tidak mengambil sikap defensif, tetapi proaktif melalui pendekatan berlapis:
1. Regulasi Ketat dan Standarisasi
- Penerapan SNI 8976:2024 yang mewajibkan campuran biomassa minimal 10% dan batas emisi ketat.
- Pelarangan penggunaan briket di wilayah perkotaan tanpa sertifikasi.
- Integrasi emisi briket ke dalam sistem pelaporan MRV (Measurement, Reporting, Verification) nasional.
2. Subsidi Teknologi, Bukan Harga
Alih-alih mensubsidi harga briket, pemerintah memberikan:
- Hibah kompor hemat emisi melalui Program Desa Energi Mandiri.
- Pelatihan penggunaan aman oleh kader kesehatan dan penyuluh energi.
3. Integrasi dengan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition)
- Setiap proyek briket wajib menyertakan rencana alih teknologi ke EBT dalam 7–10 tahun.
- Dana transisi energi (dari skema JETP) dialokasikan untuk alih profesi pekerja briket ke sektor energi hijau.
4. Penelitian dan Pengembangan Berkelanjutan
- BRIN dan perguruan tinggi mengembangkan briket biomassa murni (tanpa batu bara) sebagai generasi berikutnya.
- Uji coba briket berbasis limbah plastik non-daurnya untuk mengatasi dua masalah sekaligus: energi dan sampah.
Penutup: Antara Realisme dan Tanggung Jawab
Penggunaan briket batu bara di Indonesia pada 2025 adalah cerminan dari realisme pembangunan dalam negara berkembang: di satu sisi, kebutuhan mendesak akan energi terjangkau bagi jutaan rumah tangga; di sisi lain, tanggung jawab moral terhadap iklim dan kesehatan publik.
Tantangan lingkungan dan ekonomi yang menyertainya tidak bisa dielakkan, tetapi juga tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan ketimpangan akses energi. Kuncinya terletak pada tata kelola yang ketat, inovasi yang inklusif, dan transparansi dalam pelaporan dampak.
Seperti ditegaskan dalam dokumen kebijakan Kementerian ESDM 2025:
“Kami tidak memilih batu bara karena kami mencintainya, tapi karena kami mencintai rakyat yang belum punya pilihan.”
Ke depan, keberhasilan briket bukan diukur dari berapa ton yang diproduksi, tetapi dari seberapa cepat ia menjadi jembatan—bukan tujuan akhir—menuju masa depan energi yang benar-benar bersih, adil, dan berkelanjutan.

