Strategi Pemerintah dan Pelaku Usaha dalam Meningkatkan Daya Saing Ekspor Udang 2025
Tahun 2025 menjadi tahun krusial bagi komoditas udang Indonesia di pasar global. Di tengah persaingan ketat dari Vietnam, India, dan Ekuador—serta tekanan regulasi keberlanjutan yang semakin ketat—Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekspor udang sebesar 22% dalam nilai dibanding tahun sebelumnya. Capaian ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari sinergi strategis antara kebijakan pemerintah dan inisiatif pelaku usaha yang berfokus pada peningkatan kualitas, efisiensi produksi, sertifikasi internasional, dan penguatan rantai pasok.
Artikel ini mengupas secara komprehensif strategi kolaboratif yang diterapkan oleh pemerintah dan pelaku usaha untuk memperkuat daya saing ekspor udang Indonesia di kancah global pada 2025.
Capaian Ekspor Udang 2025: Bukti Keberhasilan Kolaborasi
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga September 2025:
- Volume ekspor udang: 187.000 ton
- Nilai ekspor: USD 1,95 miliar
- Proyeksi akhir tahun: 250.000 ton (USD 2,6 miliar)
Yang lebih menggembirakan, 68% ekspor kini ditujukan ke pasar premium (AS, Uni Eropa, Jepang, Australia), menunjukkan peningkatan signifikan dalam daya saing berbasis nilai tambah dan keberlanjutan, bukan hanya harga.
Strategi Pemerintah: Membangun Ekosistem Ekspor yang Kondusif
1. Kebijakan Regulasi yang Mendukung Keberlanjutan
Pemerintah melalui KKP telah merevisi sejumlah regulasi untuk mendorong praktik budidaya ramah lingkungan:
- Peraturan Menteri KP No. 17/2023 tentang Standar Budidaya Udang Berkelanjutan, yang mewajibkan perlindungan mangrove, pengelolaan limbah, dan penggunaan benur bersertifikat.
- Larangan ekspor benur lobster dan pembatasan impor benur non-SPF, demi menjaga kualitas dan biosecurity.
2. Insentif Fiskal dan Pendanaan Hijau
- Pembebasan bea masuk untuk impor mesin bioflok, chiller, dan peralatan pengolahan modern.
- Kredit Usaha Rakyat (KUR) Hijau dengan bunga 3% per tahun untuk petambak yang menerapkan sistem ramah lingkungan.
- Hibah teknologi melalui program “Tambak Modern” senilai Rp 1,2 triliun pada 2024–2025.
3. Penguatan Infrastruktur dan Kawasan Terpadu
Pemerintah mengembangkan Kawasan Budidaya Udang Terpadu (KBUT) di:
- Lampung Selatan (kapasitas 50.000 ton/tahun)
- Demak, Jawa Tengah
- Barru, Sulawesi Selatan
- Sumbawa, NTB
KBUT dilengkapi dengan infrastruktur air bersih, listrik, jalan, laboratorium uji, dan unit pengolahan terpusat—memudahkan petambak kecil naik kelas.
4. Fasilitasi Sertifikasi Internasional
KKP bekerja sama dengan lembaga global seperti ASC, BAP, dan WWF untuk:
- Memberikan pelatihan gratis tentang standar keberlanjutan.
- Mendorong pendekatan kluster sertifikasi, sehingga petambak kecil bisa mendapatkan sertifikasi secara kolektif dengan biaya lebih rendah.
- Meluncurkan Sistem Verifikasi Keberlanjutan Perikanan Budidaya (SVKPB) sebagai prakualifikasi menuju sertifikasi internasional.
5. Diplomasi Perdagangan dan Promosi Global
- KBRI dan ITPC aktif mempromosikan “Indonesian Sustainable Shrimp” di pameran internasional seperti Seafood Expo North America (Boston) dan Anuga (Jerman).
- Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan otoritas pangan AS (FDA) dan UE (EFSA) untuk mempercepat proses clearance impor.
Strategi Pelaku Usaha: Inovasi, Efisiensi, dan Responsif Pasar
1. Adopsi Teknologi Budidaya Modern
Perusahaan besar dan UMKM mulai beralih ke sistem berbasis teknologi:
- Bioflok dan RAS (Recirculating Aquaculture System) untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak lingkungan.
- Platform digital seperti eFishery, JALA, dan FishLog untuk manajemen pakan, pemantauan kualitas air, dan pelacakan produksi.
Contoh: PT. Japfa Comfeed mengintegrasikan 5.000 hektar tambak dengan IoT, meningkatkan efisiensi pakan hingga 20%.
2. Investasi dalam Pengolahan Bernilai Tambah
Pelaku usaha tidak lagi hanya mengekspor udang beku mentah, tetapi mengembangkan:
- Udang kupas (peeled & deveined)
- Cooked & chilled shrimp
- Breaded shrimp dan ready-to-cook
- Ekstrak chitosan dari limbah cangkang untuk industri farmasi
Produk olahan kini menyumbang 35% dari total ekspor, dengan margin 25–40% lebih tinggi.
3. Kemitraan Inti-Plasma yang Inklusif
Model kemitraan seperti yang diterapkan oleh CP Prima, Austindo Nusantara, dan Charoen Pokphand:
- Menyediakan benur SPF, pakan berkualitas, dan pendampingan teknis kepada petambak plasma.
- Menjamin pembelian hasil panen dengan harga stabil.
- Membantu proses sertifikasi ASC/BAP.
Lebih dari 300.000 petambak kini terlibat dalam skema kemitraan, meningkatkan kesejahteraan dan konsistensi pasokan.
4. Penguatan Branding dan Traceability
Eksportir besar mulai menerapkan:
- QR code pada kemasan yang menampilkan asal tambak, metode budidaya, dan sertifikasi.
- Blockchain untuk memastikan transparansi dari hulu ke hilir.
- Kampanye “Farm-to-Fork” di media sosial dan e-commerce global.
Kolaborasi Publik-Swasta: Kunci Keberhasilan
Beberapa inisiatif kolaboratif yang menjadi model sukses:
- Program “1 Juta Hektar Tambak Modern”: KKP + Asosiasi + Perbankan.
- Pusat Inovasi Udang Nasional (PIUN) di Lampung: riset bersama antara BRPBAT, IPB, dan swasta.
- Indonesia Shrimp Sustainability Forum (ISSF): wadah dialog antara pemerintah, eksportir, NGO, dan pembeli global.
Tantangan yang Masih Perlu Diatasi
Meski progres signifikan, tantangan tetap ada:
- Kesenjangan antara petambak besar dan kecil dalam akses teknologi dan sertifikasi.
- Ketergantungan pada impor pakan dan probiotik berkualitas tinggi.
- Ancaman penyakit udang yang terus berevolusi.
- Regulasi impor yang berubah cepat, seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) dan U.S. Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA).
Outlook 2026 dan Rekomendasi Strategis
Untuk mempertahankan momentum, diperlukan:
- Perluasan KBUT ke wilayah timur Indonesia (Papua, Maluku).
- Pengembangan industri pakan lokal berbasis bahan baku dalam negeri.
- Penguatan sistem peringatan dini penyakit berbasis AI dan big data.
- Pembentukan “Indonesian Shrimp Export Consortium” untuk negosiasi harga dan akses pasar secara kolektif.
Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan:
“Daya saing ekspor udang bukan diukur dari berapa ton yang kita kirim, tapi dari seberapa berkelanjutan, transparan, dan berkeadilan prosesnya. Itu yang akan membuat Indonesia dihormati, bukan hanya diperhitungkan.”
Penutup
Strategi peningkatan daya saing ekspor udang 2025 adalah cerminan matang dari kolaborasi trisentris: pemerintah sebagai fasilitator, pelaku usaha sebagai inovator, dan masyarakat sebagai pelaku di lapangan. Dengan menggabungkan kebijakan yang visioner, teknologi yang adaptif, dan komitmen terhadap keberlanjutan, Indonesia tidak hanya bersaing—tapi memimpin dalam transformasi ekonomi biru global.
Jika sinergi ini terus diperkuat, target menjadi eksportir udang nomor satu dunia pada 2030 bukan lagi mimpi, melainkan langkah strategis yang sedang diwujudkan hari ini.

