Pertumbuhan Ekonomi Hijau 2025 terhadap Inovasi dan Produksi Barang Elektronik Lokal
Tahun 2025 menandai babak baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia: era ekonomi hijau telah bergerak dari wacana ke realitas kebijakan dan praktik industri. Didorong oleh komitmen net zero emission 2060, transisi energi, serta tekanan global terhadap keberlanjutan, pemerintah dan sektor swasta berkolaborasi membangun ekosistem ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif.
Salah satu sektor yang paling terdampak—sekaligus paling responsif—adalah industri barang elektronik lokal. Dulu dikenal sebagai produsen perangkat fungsional dengan harga terjangkau, kini merek-merek seperti Polytron, Maspion, Miyako, Sanken, dan Advan bertransformasi menjadi pelaku inovasi berbasis prinsip keberlanjutan. Artikel ini mengupas secara mendalam bagaimana pertumbuhan ekonomi hijau pada 2025 telah mendorong inovasi teknologi, perubahan desain produk, efisiensi produksi, dan penguatan daya saing elektronik lokal di Indonesia.
Ekonomi Hijau 2025: Landasan Kebijakan dan Investasi
Pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia pada 2025 didukung oleh fondasi kuat:
- Perpres No. 98/2024 tentang Ekonomi Sirkular dan Rendah Karbon
- Roadmap Transisi Energi Nasional yang menargetkan 23% energi terbarukan pada 2025
- Insentif fiskal bagi industri yang menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance)
- Investasi hijau mencapai Rp420 triliun sepanjang 2025, termasuk di sektor manufaktur berkelanjutan
Di tengah tekanan global terhadap jejak karbon produk, ekonomi hijau bukan lagi pilihan, melainkan prasyarat untuk bersaing di pasar domestik maupun ekspor.
Transformasi Industri Elektronik Lokal: Dari Konvensional ke Berkelanjutan
1. Inovasi Produk Berbasis Efisiensi Energi
Produsen elektronik lokal kini fokus pada pengurangan konsumsi listrik sebagai nilai jual utama:
- Polytron meluncurkan kulkas “EcoCool Series” dengan teknologi inverter dan isolasi vakum, menghemat listrik hingga 45% dibanding model lama.
- Maspion memperkenalkan rice cooker “GreenCook” yang menggunakan pemanas induksi dan sensor suhu presisi, mengurangi pemborosan energi hingga 30%.
- Sanken mengembangkan AC “SolarReady” yang kompatibel dengan panel surya rumah tangga, memungkinkan operasi tanpa listrik PLN selama siang hari.
Menurut Kementerian ESDM (2025), produk elektronik lokal dengan label “Hemat Energi Bintang 4–5” tumbuh 58% YoY, menunjukkan permintaan pasar yang kuat.
2. Penggunaan Material Ramah Lingkungan
Industri mulai mengganti bahan berdampak tinggi dengan alternatif berkelanjutan:
- Casing TV dan kipas angin dibuat dari plastik daur ulang pasca-konsumsi (PCR)
- Kemasan produk menggunakan kardus daur ulang 100% tanpa plastik
- Komponen logam dilapisi dengan cat bebas VOC (volatile organic compounds)
Polytron, misalnya, mengklaim 35% material kemasan dan 20% komponen fisik produknya kini berasal dari bahan daur ulang.
3. Desain untuk Perbaikan dan Daur Ulang (Design for Repairability & Recyclability)
Mengadopsi prinsip ekonomi sirkular, produsen lokal merancang produk yang:
- Mudah dibongkar untuk perbaikan
- Menggunakan modul standar yang bisa diganti
- Dilengkapi panduan servis digital terbuka
Advan bahkan meluncurkan program “Laptop Hijau” dengan baterai yang bisa diganti pengguna dan casing dari aluminium daur ulang.
Efisiensi dan Dekarbonisasi dalam Proses Produksi
Tidak hanya produk, proses manufaktur juga mengalami transformasi hijau:
1. Penggunaan Energi Terbarukan di Pabrik
- Pabrik Maspion di Sidoarjo memasang panel surya atap berkapasitas 2,5 MW, memenuhi 40% kebutuhan listrik pabrik.
- Polytron di Kudus bekerja sama dengan PLN untuk mendapatkan pasokan listrik hijau dari PLTA.
- Sanken menerapkan sistem manajemen energi berbasis AI untuk memantau dan mengoptimalkan konsumsi listrik real-time.
2. Pengurangan Limbah dan Emisi
- Penerapan zero liquid discharge (ZLD) di lini produksi elektronik mengurangi limbah cair industri.
- Penggunaan solder bebas timbal (lead-free) dan proses solder uap rendah emisi.
- Program “Zero Waste to Landfill” diimplementasikan oleh 12 pabrik elektronik besar hingga pertengahan 2025.
Menurut data Kemenperin, intensitas emisi karbon per unit produk elektronik lokal turun 18% sejak 2022.
Dorongan Kebijakan dan Insentif Pemerintah
Pemerintah memainkan peran krusial dalam mempercepat transisi hijau:
- Sertifikasi “Produk Hijau Indonesia”
Dikeluarkan oleh Kementerian LHK, sertifikasi ini menjadi syarat untuk ikut tender pemerintah dan mendapat insentif pajak. - Insentif Pajak Hijau
- Pembebasan PPh 21/22/25 untuk investasi mesin ramah lingkungan
- Pengurangan PBB untuk pabrik yang menggunakan energi terbarukan
- Program Matching Fund R&D Hijau
Kemenristek/BRIN menyediakan dana hingga Rp50 miliar/proyek untuk riset elektronik berkelanjutan, seperti baterai organik atau sensor hemat daya. - TKDN Hijau
Komponen ramah lingkungan (seperti modul surya mini, inverter efisien) mendapat bobot lebih tinggi dalam perhitungan TKDN.
Dampak terhadap Daya Saing dan Pasar
1. Peningkatan Preferensi Konsumen
Survei Greenpeace Indonesia & Jakpat (2025) menunjukkan:
- 67% konsumen usia 18–40 tahun bersedia membayar 10–15% lebih mahal untuk produk elektronik ramah lingkungan.
- 52% rumah tangga mempertimbangkan label hemat energi sebagai faktor utama pembelian.
Ini memberi keunggulan kompetitif bagi merek lokal yang proaktif bertransformasi.
2. Akses ke Pasar Ekspor yang Lebih Luas
Negara-negara Eropa dan Jepang mulai menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Produk elektronik Indonesia yang rendah karbon lebih mudah menembus pasar ini. Contohnya:
- Ekspor kipas angin hemat energi Miyako ke Jerman naik 40%
- TV LED Polytron dengan sertifikasi lingkungan masuk ke jaringan retail Belanda
3. Kolaborasi dengan Ekosistem Hijau Nasional
Produsen elektronik lokal kini menjadi bagian dari ekosistem energi terbarukan:
- Kulkas dan AC “SolarReady” dipasangkan dengan panel surya dari Surya Energi
- Power bank ramah lingkungan dikembangkan bersama startup baterai nikel lokal
- Program daur ulang elektronik bekerja sama dengan Bank Sampah Digital
Tantangan yang Masih Menghambat
Meski progres signifikan, beberapa hambatan tetap ada:
- Biaya Awal Inovasi Hijau Tinggi
Riset material daur ulang dan sertifikasi internasional membutuhkan investasi besar yang sulit dijangkau UMKM. - Keterbatasan Infrastruktur Daur Ulang
Indonesia belum memiliki sistem nasional untuk mendaur ulang komponen elektronik kompleks seperti PCB dan baterai lithium. - Kurangnya Standar Nasional Terpadu
Banyak sertifikasi hijau tumpang tindih (ESDM, LHK, Kemenperin), membingungkan produsen. - Ketergantungan pada Teknologi Impor
Chip hemat energi dan sensor canggih masih diimpor, mengurangi kedaulatan teknologi hijau.
Proyeksi 2026–2030: Menuju Elektronik Lokal yang Benar-Benar Berkelanjutan
Jika tren 2025 berlanjut, industri elektronik lokal diproyeksikan:
- Meningkatkan pangsa pasar produk hijau menjadi 50% dari total produksi pada 2028
- Mengembangkan chip hemat daya berbasis riset dalam negeri melalui konsorsium BRIN–ITB–UMKM
- Membangun pusat daur ulang elektronik regional di 5 pulau besar
- Menjadi pemasok utama perangkat rumah pintar berbasis energi surya untuk program “Desa Mandiri Energi”
Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi hijau 2025 bukan hanya mengubah cara Indonesia memandang lingkungan, tetapi juga mendefinisikan ulang identitas industri elektronik lokal. Dari sekadar produsen murah, kini mereka menjadi agen inovasi berkelanjutan yang menjawab tantangan iklim, efisiensi energi, dan kebutuhan konsumen modern.
Transformasi ini membuktikan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas tidak saling bertentangan, melainkan saling memperkuat. Dengan dukungan kebijakan yang konsisten, kolaborasi multipihak, dan komitmen terhadap inovasi, industri elektronik lokal Indonesia berpotensi menjadi model ekonomi hijau di kawasan Asia Tenggara—di mana teknologi, lingkungan, dan kesejahteraan rakyat berjalan beriringan.

