Perlambatan Ekonomi Global dan Tantangan bagi Neraca Perdagangan Barang Jadi Indonesia 2025
Tahun 2025 menjadi ujian berat bagi perekonomian Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global yang meluas. Pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan hanya mencapai 2,6% (IMF, April 2025) berdampak langsung pada pola perdagangan internasional, termasuk kinerja ekspor dan impor barang jadi Indonesia. Sebagai negara yang masih mengandalkan perdagangan luar negeri sebagai salah satu pendorong pertumbuhan, Indonesia menghadapi tekanan ganda: penurunan permintaan ekspor dan ketidakseimbangan neraca perdagangan barang jadi.
Artikel ini menganalisis bagaimana perlambatan ekonomi global memengaruhi neraca perdagangan barang jadi Indonesia pada tahun 2025, mengidentifikasi sektor-sektor yang paling terdampak, serta mengevaluasi respons kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas perdagangan.
Gambaran Neraca Perdagangan Barang Jadi Indonesia 2025
Barang jadi—yang mencakup produk manufaktur seperti tekstil, elektronik, alas kaki, furnitur, dan makanan olahan—merupakan komponen penting dalam struktur perdagangan non-migas Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga kuartal III 2025:
- Ekspor barang jadi: USD 112,4 miliar (turun 3,2% YoY)
- Impor barang jadi: USD 108,7 miliar (naik 1,5% YoY)
- Neraca perdagangan barang jadi: Surplus tipis sebesar USD 3,7 miliar, jauh lebih rendah dibanding surplus USD 9,1 miliar pada periode yang sama tahun 2024.
Penurunan surplus ini mencerminkan melemahnya daya saing ekspor sekaligus peningkatan ketergantungan impor terhadap barang konsumsi dan bahan baku industri.
Dampak Perlambatan Ekonomi Global
1. Penurunan Permintaan dari Pasar Utama
Negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia—terutama Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok—mengalami perlambatan konsumsi akibat inflasi tinggi dan kebijakan moneter ketat. Akibatnya:
- Ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke AS turun 14,1% YoY.
- Ekspor furnitur dan kerajinan kayu ke UE menyusut 11,3%.
- Permintaan alas kaki dan produk kulit dari pasar Jepang dan Korea Selatan juga melambat.
2. Peningkatan Impor Barang Konsumsi dan Komponen Industri
Di sisi impor, meski permintaan domestik melambat, Indonesia tetap mengimpor sejumlah besar barang jadi, terutama:
- Elektronik konsumen (smartphone, laptop, peralatan rumah tangga) dari Tiongkok dan Vietnam.
- Komponen otomotif dan mesin industri untuk mendukung produksi dalam negeri.
- Produk farmasi dan kimia yang belum sepenuhnya diproduksi secara lokal.
Kenaikan impor ini diperparah oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang 2025, yang membuat barang impor menjadi lebih mahal namun tetap dibutuhkan.
3. Ketimpangan Struktural dalam Perdagangan Barang Jadi
Indonesia masih menghadapi defisit perdagangan barang jadi berteknologi tinggi, seperti peralatan elektronik dan mesin, sementara surplus hanya berasal dari sektor padat karya berbasis tenaga kerja murah. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa transformasi industri belum sepenuhnya berhasil meningkatkan nilai tambah dan kompleksitas ekspor.
Respons Kebijakan Pemerintah
Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis:
- Percepatan hilirisasi: Larangan ekspor bahan mentah diperluas ke sektor tembaga dan bauksit, mendorong investasi di smelter dan pabrik pengolahan.
- Insentif ekspor: Pemberian fasilitas fiskal bagi industri manufaktur berorientasi ekspor melalui skema super deduction tax.
- Diversifikasi pasar: Pemanfaatan perjanjian perdagangan seperti IEU-CEPA dan RCEP untuk membuka akses ke pasar non-tradisional seperti Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin.
- Penguatan UMKM ekspor: Program “Exportable UMKM” oleh Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu pelaku usaha kecil masuk ke rantai pasok global.
Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi hambatan, seperti birokrasi yang lambat, keterbatasan infrastruktur logistik, dan kurangnya SDM terampil di sektor manufaktur modern.
Proyeksi dan Rekomendasi
Jika tren saat ini berlanjut, neraca perdagangan barang jadi Indonesia berpotensi berada di ambang defisit pada akhir 2025. Untuk mencegahnya, diperlukan langkah-langkah jangka pendek dan menengah:
- Percepat transformasi digital industri manufaktur untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.
- Perkuat kolaborasi riset dan pengembangan (R&D) antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta.
- Optimalkan e-commerce lintas batas sebagai saluran ekspor alternatif, terutama untuk produk kreatif dan UMKM.
- Kurangi ketergantungan impor melalui substitusi impor berbasis inovasi lokal dan ekosistem industri dalam negeri yang terintegrasi.
Kesimpulan
Perlambatan ekonomi global tahun 2025 bukan hanya ujian bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga cermin bagi kematangan struktur perdagangan nasional. Neraca perdagangan barang jadi yang semakin rapuh menunjukkan bahwa strategi ekspor berbasis komoditas dan tenaga kerja murah sudah tidak cukup. Diperlukan lompatan struktural menuju ekspor berbasis inovasi, teknologi, dan nilai tambah tinggi.
Keberhasilan Indonesia dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan barang jadi akan sangat menentukan ketahanan ekonomi nasional di tengah badai ketidakpastian global. Tanpa reformasi yang berani dan konsisten, surplus perdagangan—yang selama ini menjadi penyangga eksternal—berisiko terkikis habis.

