19, Okt 2025
Peluang dan Tantangan Industri Gas Petroleum Indonesia di Era Transisi Energi 2025

Tahun 2025 menandai fase krusial dalam transformasi energi global: dunia bergerak cepat menuju ekonomi rendah karbon, sementara negara berkembang seperti Indonesia harus menyeimbangkan tuntutan iklim dengan kebutuhan pembangunan yang inklusif. Di tengah dinamika ini, industri gas petroleum—meliputi Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan gas bumi—berada di persimpangan strategis. Di satu sisi, gas petroleum dianggap sebagai bahan bakar transisi yang lebih bersih dibanding batu bara dan minyak; di sisi lain, ia tetap merupakan energi fosil yang suatu hari harus digantikan oleh sumber terbarukan.

Bagi Indonesia, yang memiliki cadangan gas alam melimpah namun masih mengimpor sebagian besar LPG-nya, era transisi energi membuka peluang besar sekaligus tantangan struktural. Artikel ini mengupas secara komprehensif peluang dan tantangan yang dihadapi industri gas petroleum Indonesia pada 2025, serta bagaimana negara ini berupaya memposisikan gas sebagai jembatan berkelanjutan—bukan penghambat—dalam perjalanan menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.


Profil Industri Gas Petroleum Indonesia 2025

Pada 2025, konsumsi gas petroleum nasional mencapai:

  • LPG: 9,3 juta ton/tahun
  • Gas bumi: 6.200 MMSCFD (juta kaki kubik per hari)

Namun, struktur pasokannya masih timpang:

  • Produksi LPG domestik: hanya 3,9 juta ton (42% dari kebutuhan)
  • Impor LPG: 5,4 juta ton (58%), terutama dari Arab Saudi dan AS
  • Cadangan gas bumi terbukti: 38,5 TCF, tetapi pemanfaatan untuk LPG masih rendah

Sementara itu, gas bumi menyumbang 21% bauran energi nasional, dan LPG digunakan oleh 89% rumah tangga serta 63% UMKM manufaktur.


Peluang Strategis di Era Transisi Energi

1. Gas sebagai “Bridge Fuel” dalam Transisi Energi

Dalam dokumen Just Energy Transition Partnership (JETP) dan NDC Enhanced Indonesia (2023), gas petroleum secara eksplisit diakui sebagai bahan bakar transisi yang sah. Alasannya:

  • Emisi CO₂ gas 50% lebih rendah daripada batu bara
  • Tidak menghasilkan partikulat, SO₂, atau abu
  • Dapat dioperasikan sebagai backup power untuk PLTS dan PLTB yang intermiten

Pada 2025, PLTG berbasis gas domestik menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di luar Jawa, memastikan stabilitas selama transisi ke EBT.

2. Pengembangan Bio-LPG: Masa Depan Berkelanjutan

Peluang terbesar terletak pada bio-LPG—LPG yang diproduksi dari sumber biomassa terbarukan:

  • Minyak jelantah
  • Limbah kelapa sawit (POME, sludge)
  • Biogas dari TPA dan peternakan

Pabrik percontohan di Dumai, Karawang, dan Palembang telah menghasilkan 25.000 ton bio-LPG/tahun. Dengan dukungan kebijakan, bio-LPG diproyeksikan mencapai 500.000 ton/tahun pada 2030, mengurangi emisi hingga 80% dibanding LPG fosil.

Bio-LPG juga membuka ekosistem ekonomi sirkular, menciptakan pasar baru bagi limbah pertanian dan UMKM daur ulang.

3. Industrialisasi Rendah Karbon Berbasis Gas

Gas bumi menjadi fondasi industri manufaktur hijau:

  • Pabrik pupuk (Pusri, Pupuk Kaltim) beroperasi 100% berbasis gas
  • Industri semen menggunakan co-firing gas untuk menggantikan batu bara
  • Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang dan Morowali mengandalkan pipa gas untuk efisiensi energi

Investasi di sektor ini mencapai Rp 48 triliun pada 2025, menciptakan 92.000 lapangan kerja hijau.

4. Ekspansi Infrastruktur Gas sebagai Aset Jangka Panjang

Pembangunan jaringan pipa gas kota (Jargas) dan SPBG tidak hanya untuk gas fosil, tetapi dirancang agar di masa depan dapat dialihkan ke:

  • Hidrogen hijau
  • Biogas terupgraded
  • Synthetic natural gas (SNG)

Dengan 1,35 juta sambungan Jargas pada 2025, infrastruktur ini menjadi aset strategis transisi energi jangka panjang.

5. Penguatan Ketahanan Energi dan Pengurangan Impor

Optimalisasi gas domestik mengurangi ketergantungan impor:

  • Kilang mini LPG dan fasilitas LNG-to-LPG menambah pasokan 1,8 juta ton/tahun
  • Pemanfaatan associated gas mengurangi flaring dan meningkatkan efisiensi
  • Target 70% produksi LPG domestik pada 2027 semakin realistis

Penghematan devisa mencapai USD 1,2 miliar/tahun, memperkuat neraca perdagangan.


Tantangan Struktural dan Eksternal

1. Stigma “Gas = Fosil” dalam Wacana Global

Meski diakui sebagai transisi, gas petroleum tetap menghadapi tekanan dari kalangan aktivis iklim dan lembaga keuangan global:

  • Beberapa bank internasional mulai membatasi pendanaan untuk proyek gas baru
  • Investor ESG (Environmental, Social, Governance) cenderung menghindari sektor fosil
  • Uni Eropa mempertimbangkan carbon border tax yang bisa memengaruhi ekspor industri berbasis gas

2. Persaingan dengan Energi Listrik dan Terbarukan

Di perkotaan, kompor induksi dan panel surya semakin kompetitif:

  • Harga panel surya turun 65% sejak 2020
  • Kompor induksi lebih efisien (90% vs 60% untuk LPG)
  • Generasi muda lebih memilih solusi “100% hijau”

Jika tidak diantisipasi, permintaan LPG di segmen menengah-atas bisa menyusut.

3. Keterbatasan Infrastruktur di Luar Jawa

Infrastruktur gas masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera:

  • 85% jaringan pipa gas berada di Pulau Jawa
  • Daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih mengandalkan LPG tabung impor
  • Biaya logistik ke Indonesia timur 2–3 kali lebih mahal

Kesenjangan ini menghambat pemerataan akses energi bersih.

4. Regulasi dan Iklim Investasi yang Belum Optimal

  • Proses perizinan proyek hulu gas masih berbelit dan lama
  • Ketidakpastian harga gas domestik menghambat investasi swasta
  • Kurangnya insentif fiskal untuk pengembangan bio-LPG skala UMKM

5. Ketergantungan pada Teknologi Impor

Teknologi pengolahan gas—terutama untuk bio-LPG dan LNG-to-LPG—masih 90% impor dari Eropa dan AS, membuat biaya investasi tinggi dan rentan terhadap gangguan rantai pasok global.


Strategi Nasional Menghadapi Tantangan

Pemerintah Indonesia merespons dengan pendekatan berlapis:

  1. Rebranding Gas sebagai Energi Transisi Resmi
    Melalui diplomasi energi di forum G20, ASEAN, dan COP30, Indonesia memperjuangkan pengakuan global terhadap peran gas dalam transisi yang adil.
  2. Percepatan Bio-LPG dan Riset Lokal
    BRIN dan perguruan tinggi dikolaborasikan untuk mengembangkan teknologi pengolahan biomassa menjadi LPG dengan biaya terjangkau.
  3. Insentif Fiskal dan Penyederhanaan Perizinan
    • Pembebasan PPN untuk bio-LPG
    • Satu pintu perizinan proyek gas melalui OSS (Online Single Submission)
    • Tax allowance untuk investasi infrastruktur gas di luar Jawa
  4. Integrasi dengan Program Desa Energi Mandiri
    Gas dikombinasikan dengan biogas dan panel surya dalam sistem energi hibrida di pedesaan.
  5. Penguatan SDM dan Alih Teknologi
    Program vokasi “Tenaga Ahli Gas Hijau” diluncurkan di 12 politeknik pertambangan dan energi.

Penutup: Menavigasi Transisi dengan Bijak

Industri gas petroleum Indonesia pada 2025 tidak berada di jalan buntu, melainkan di tikungan strategis. Di depan, ada tekanan global untuk segera beralih ke nol karbon; di belakang, ada jutaan rumah tangga dan UMKM yang masih membutuhkan energi termal yang terjangkau dan andal.

Keberhasilan Indonesia tidak diukur dari seberapa cepat ia meninggalkan gas, tetapi dari seberapa cerdas ia memanfaatkan gas sebagai jembatan—untuk membangun infrastruktur, mengurangi emisi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan bahwa transisi energi tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Seperti dinyatakan dalam Strategi Transisi Energi Nasional 2025:

“Kami tidak menolak masa depan. Kami hanya ingin memastikan bahwa jalan menuju sana cukup lebar untuk seluruh bangsa.”

Dengan visi ini, gas petroleum akan terus menjadi penggerak, bukan penghambat, dalam misi Indonesia mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang adil, inklusif, dan berdaulat.