“Kesenjangan Ekonomi Pasca-Pandemi”
Pandemi Covid-19 bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga gempa besar yang mengguncang fondasi ekonomi global — termasuk Indonesia. Setelah tiga tahun lebih berjuang melawan gelombang infeksi, lockdown, dan ketidakpastian, dunia kini mulai bernapas lega. Pertumbuhan ekonomi kembali positif, pasar kerja pulih, dan aktivitas bisnis berangsur normal. Namun, di balik angka-angka pemulihan yang menggembirakan, muncul pertanyaan mendasar: Apakah pemulihan ekonomi pasca-pandemi benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat? Atau justru memperlebar jurang ketimpangan yang sudah ada sebelumnya?
Artikel ini akan mengupas realitas kesenjangan ekonomi pasca-pandemi di Indonesia, mengevaluasi kebijakan pemulihan, dan menjawab apakah “pemulihan merata” hanyalah retorika politik — atau bisa menjadi kenyataan.
Pandemi: Katalisator Ketimpangan yang Sudah Ada
Sebelum pandemi, Indonesia sebenarnya sudah menghadapi tantangan kesenjangan ekonomi. Rasio Gini — indikator utama ketimpangan pendapatan — sempat turun dari 0,41 (2013) menjadi 0,38 (2019), tapi tetap berada di level yang mengkhawatirkan. Namun, pandemi menjadi “katalisator” yang mempercepat dan memperdalam ketimpangan tersebut.
Mengapa?
🔹 Kelompok rentan paling terpukul
Buruh harian, pekerja informal, UMKM mikro, dan perempuan — yang sebagian besar tidak memiliki jaring pengaman sosial — kehilangan pendapatan dalam semalam saat PSBB diberlakukan. Sementara pekerja formal, kantoran, dan sektor digital justru bisa bekerja dari rumah dan bahkan mendapat insentif.
🔹 Akses terhadap bantuan tidak merata
Meski pemerintah menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk bansos, banyak laporan menyebutkan bahwa bantuan tidak tepat sasaran. Data kemiskinan yang ketinggalan zaman, sistem administrasi yang kacau, dan korupsi lokal membuat kelompok paling miskin justru tidak tersentuh.
🔹 Digital divide semakin lebar
Saat sekolah dan bisnis beralih ke daring, keluarga miskin tanpa akses internet, gawai, atau listrik yang stabil tertinggal jauh. Anak-anak dari keluarga miskin kehilangan kesempatan belajar, sementara anak kelas menengah atas bisa mengikuti les online dan tetap kompetitif.
Data Terkini: Apakah Kesenjangan Menyempit atau Melebar?
Mari lihat data terbaru dari BPS dan lembaga riset:
📊 Rasio Gini (Maret 2024): 0,384
Naik tipis dari 0,381 di 2022, menunjukkan ketimpangan mulai melebar lagi pasca-pandemi.
📊 Tingkat Kemiskinan (Maret 2024): 9,36%
Turun dari puncak 10,19% di 2021, tapi masih lebih tinggi dari pra-pandemi (9,22% di 2019). Artinya, 2,7 juta orang masih terjebak dalam kemiskinan ekstrem pasca-pandemi.
📊 Pengangguran Terbuka: 5,5% (Februari 2024)
Membaik dari 7,07% di 2021, tapi kualitas pekerjaan baru banyak di sektor informal dengan upah rendah dan tanpa jaminan sosial.
📊 Kesenjangan Antarwilayah
Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Bali jauh lebih cepat dibandingkan Papua, Maluku, dan NTT. Infrastruktur, akses modal, dan SDM menjadi faktor utama.
📊 Kesenjangan Gender
Perempuan, terutama ibu rumah tangga dan pekerja sektor informal, lebih lambat pulih karena beban ganda (kerja dan urus keluarga) serta diskriminasi struktural di pasar kerja.
Faktor Penyebab Pemulihan Tidak Merata
1. Kebijakan Pemulihan yang Pro-Bisnis, Bukan Pro-Rakyat Kecil
Pemerintah fokus pada insentif pajak, restrukturisasi kredit, dan stimulus korporasi — yang memang penting untuk menjaga roda ekonomi. Tapi, dukungan langsung ke rumah tangga miskin dan UMKM mikro seringkali terlambat, tidak memadai, atau tidak tepat sasaran.
2. Transformasi Digital yang Eksklusif
Ekonomi digital tumbuh pesat pasca-pandemi, tapi hanya dinikmati oleh mereka yang melek teknologi dan punya modal. UMKM tradisional tanpa akses pelatihan digital, internet, atau marketplace justru semakin tertinggal.
3. Pendidikan yang Tertinggal Menciptakan “Lost Generation”
Anak-anak miskin yang kehilangan akses pendidikan selama pandemi kini menghadapi kesenjangan kompetensi yang lebar. Mereka akan sulit bersaing di pasar kerja masa depan — menciptakan siklus kemiskinan antargenerasi.
4. Utang Rumah Tangga dan UMKM yang Menumpuk
Banyak keluarga dan UMKM bertahan selama pandemi dengan berutang. Kini, saat suku bunga naik dan ekonomi melambat, mereka kesulitan membayar — terjebak dalam jerat rentenir atau kredit macet.
5. Ketimpangan Aset, Bukan Hanya Pendapatan
Kesenjangan di Indonesia bukan hanya soal gaji, tapi juga soal kepemilikan aset (tanah, properti, saham, emas). Kelompok kaya justru memperkuat portofolio asetnya selama pandemi (beli properti saat harga turun, investasi saham saat pasar lesu), sementara kelompok miskin kehilangan aset produktifnya (kendaraan, peralatan usaha).
Strategi Mewujudkan Pemulihan yang Inklusif
Agar pemulihan benar-benar merata, diperlukan pendekatan yang lebih adil, pro-poor, dan berkelanjutan:
1. Reformasi Sistem Perlindungan Sosial
- Bangun sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang akurat dan real-time.
- Tingkatkan nilai dan cakupan bansos, terutama untuk ibu hamil, anak stunting, lansia, dan disabilitas.
- Integrasi bansos dengan program kesehatan dan pendidikan.
2. Dukungan Nyata untuk UMKM Mikro dan Informal
- Akses pembiayaan tanpa agunan berbasis karakter dan transaksi digital.
- Pelatihan digital, branding, dan manajemen keuangan gratis.
- Subsidi listrik, internet, dan logistik untuk UMKM desa.
3. Investasi Besar di Pendidikan dan Keterampilan
- Program “catch-up learning” nasional untuk anak yang tertinggal.
- Beasiswa vokasi dan pelatihan kerja berbasis kebutuhan industri.
- Guru penggerak dan teknologi pendidikan untuk daerah 3T.
4. Kebijakan Fiskal yang Progresif
- Pajak lebih tinggi untuk aset mewah, properti kosong, dan keuntungan modal (capital gain).
- Insentif pajak untuk perusahaan yang merekrut kelompok marjinal (difabel, perempuan kepala keluarga, mantan pekerja migran).
- Transparansi penggunaan APBN untuk program pengentasan kemiskinan.
5. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan dan Daerah Tertinggal
- Akses modal, pelatihan, dan pasar khusus untuk wirausaha perempuan.
- Infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih, internet) di daerah tertinggal.
- Desentralisasi anggaran dan otonomi fiskal daerah yang lebih adil.
Kesimpulan: Pemulihan Tanpa Keadilan = Bom Waktu Sosial
Pemulihan ekonomi pasca-pandemi memang terjadi — tapi tidak merata. Angka pertumbuhan PDB yang tinggi tidak berarti apa-apa jika separuh rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Kesenjangan yang dibiarkan akan menciptakan bom waktu sosial: ketidakstabilan politik, kriminalitas, radikalisme, dan hilangnya kepercayaan terhadap negara.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pemulihan bukan hanya milik segelintir orang, tapi dirasakan oleh seluruh rakyat — dari Sabang sampai Merauke, dari kota hingga desa, dari laki-laki hingga perempuan, dari yang berpendidikan tinggi hingga yang hanya lulusan SD.
Pemulihan yang merata bukanlah kemewahan — ia adalah keharusan moral, ekonomi, dan politik. Karena ekonomi yang kuat bukan yang tumbuh cepat, tapi yang mampu menopang kehidupan semua warganya secara adil dan bermartabat.