2, Nov 2025
George Eastman: Penemu Kamera Kodak yang Membuat Fotografi Populer

Sebelum era smartphone dan media sosial, sebelum setiap orang bisa mengabadikan momen dengan satu ketukan jari, fotografi adalah seni eksklusif—rumit, mahal, dan hanya bisa dilakukan oleh para profesional dengan peralatan berat dan laboratorium gelap. Namun, segalanya berubah berkat seorang pria biasa dari Rochester, New York: George Eastman. Dengan visi sederhana—“membuat fotografi semudah menggunakan pensil”—ia menciptakan kamera portabel pertama, mendirikan perusahaan legendaris Kodak, dan membawa fotografi ke tangan jutaan orang biasa di seluruh dunia.


Awal Kehidupan: Dari Kemiskinan Menuju Obsesi Teknologi

George Eastman lahir pada 12 Juli 1854 di Waterville, New York, dalam keluarga sederhana. Ayahnya, seorang guru, meninggal saat George berusia delapan tahun, meninggalkan keluarga dalam kesulitan finansial. Untuk membantu ibunya, George mulai bekerja sejak usia muda—mulai dari mengantar koran hingga menjadi asisten di sebuah perusahaan asuransi.

Pada usia 20-an, Eastman bekerja sebagai pembukuan di Rochester Savings Bank. Hidupnya berubah ketika ia berencana liburan ke Karibia pada 1877. Seorang teman menyarankan agar ia membawa kamera untuk mendokumentasikan perjalanan. Namun, saat mencoba membeli peralatan, ia terkejut: fotografi saat itu membutuhkan pelat kaca basah, cairan kimia beracun, tripod besar, dan tenda gelap portabel—semua itu terlalu rumit dan berat untuk dibawa liburan.

Alih-alih menyerah, Eastman justru tertarik menyelesaikan masalah ini. Ia mulai bereksperimen di dapur ibunya, mencari cara membuat proses fotografi lebih sederhana. Dalam waktu singkat, ia menjadi obsesif: membaca buku kimia, menguji formula emulsi, dan menghabiskan tabungannya untuk peralatan laboratorium.


Inovasi yang Mengguncang Dunia Fotografi

Pada 1880, Eastman mematenkan metode baru untuk membuat pelat kering siap pakai—lebih stabil dan praktis daripada pelat basah. Ia mendirikan Eastman Dry Plate Company, yang dengan cepat menjadi pemasok utama pelat fotografi di AS.

Namun, ia tidak berhenti di situ. Ia yakin fotografi harus benar-benar portabel dan mudah digunakan oleh siapa saja. Bersama ilmuwan muda bernama Henry Reichenbach, Eastman mengembangkan film gulung berbasis seluloid—pengganti pelat kaca yang ringan, fleksibel, dan bisa dimuat dalam kamera kecil.

Puncaknya datang pada 1888, ketika Eastman meluncurkan kamera Kodak—sebuah kotak kecil berbahan kayu yang sudah diisi film untuk 100 foto. Slogannya yang terkenal:

“You press the button, we do the rest.”
(“Anda tekan tombolnya, kami yang mengurus sisanya.”)

Setelah mengambil semua foto, pengguna mengirim seluruh kamera ke pabrik Kodak. Di sana, film diproses, foto dicetak, dan kamera dikembalikan dengan film baru—semua dalam satu paket layanan lengkap.

Untuk nama merek, Eastman ingin sesuatu yang unik, mudah diingat, dan tidak ada dalam kamus. Ia mencoba berbagai kombinasi huruf hingga akhirnya memilih “Kodak”—kata yang ia ciptakan sendiri, dengan huruf “K” yang ia sukai karena “tajam dan tegas”.


Demokratisasi Fotografi: Dari Elit ke Rakyat Biasa

Kamera Kodak mengubah segalanya. Untuk pertama kalinya, ibu rumah tangga, petani, anak-anak, dan pekerja biasa bisa mengabadikan momen keluarga, liburan, atau kehidupan sehari-hari—tanpa perlu pengetahuan teknis atau laboratorium.

Pada 1900, Kodak meluncurkan Brownie, kamera seharga $1 (setara sekitar $35 hari ini) yang ditujukan khusus untuk anak-anak dan keluarga kelas menengah. Brownie menjadi fenomena global, menjual jutaan unit dan melahirkan budaya fotografi amatir.

Eastman juga memperkenalkan konsep “film sekali pakai” dan membangun jaringan laboratorium pemrosesan di seluruh dunia—langkah awal dari industri layanan foto modern.


Filantropi dan Warisan Sosial

George Eastman bukan hanya pengusaha sukses—ia juga seorang filantropis besar. Ia percaya bahwa kekayaan harus digunakan untuk kebaikan umum. Sepanjang hidupnya, ia menyumbangkan lebih dari $100 juta (dalam nilai saat itu) untuk berbagai tujuan:

  • Mendirikan Eastman School of Music (1921) di University of Rochester
  • Mendanai Massachusetts Institute of Technology (MIT) secara anonim selama bertahun-tahun
  • Membangun rumah sakit, sekolah, dan perumahan pekerja di Rochester
  • Memberikan saham Kodak kepada karyawannya—langkah progresif di zamannya

Ia juga menganjurkan jam kerja 5 hari seminggu dan memberikan tunjangan pensiun—jauh sebelum praktik itu umum di dunia industri.


Akhir Hidup yang Tragis

Meski sukses luar biasa, Eastman mengalami penurunan kesehatan di usia tua. Ia menderita penyakit degeneratif yang membuatnya kesakitan kronis dan kehilangan kemampuan bergerak. Pada 14 Maret 1932, dalam usia 77 tahun, George Eastman mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sebelum meninggal, ia meninggalkan catatan singkat:

“To my friends: my work is done. Why wait?”
(“Untuk teman-temanku: tugasku telah selesai. Mengapa menunggu?”)

Ia dimakamkan di Rochester, kota yang ia bangun dan cintai.


Warisan Abadi: Kodak dan Dunia Visual Modern

Meski perusahaan Kodak mengalami masa sulit di era digital (dan sempat bangkrut pada 2012), warisan George Eastman tetap hidup:

  • George Eastman Museum di Rochester adalah museum fotografi dan film tertua di dunia.
  • Konsep “ambil foto, kirim, dapat hasil” yang ia ciptakan adalah cikal bakal layanan cloud dan cetak foto online hari ini.
  • Filosofinya—“teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya”—masih relevan di era AI dan kamera smartphone.

Lebih dari itu, Eastman mengubah cara manusia melihat diri mereka sendiri. Ia memberi kita kekuatan untuk menghentikan waktu, mengenang cinta, merayakan kehidupan, dan mewariskan kenangan—bukan hanya kepada keluarga, tetapi kepada sejarah.


Penutup: Sang Visioner yang Memberi Dunia Mata Baru

George Eastman tidak pernah mengambil foto profesional seumur hidupnya. Namun, berkat dia, setiap orang di dunia bisa menjadi fotografer. Ia tidak hanya menciptakan kamera—ia menciptakan budaya visual modern, di mana gambar menjadi bahasa universal kemanusiaan.

Dalam kata-katanya sendiri:

“The light of today is the shadow of tomorrow.”
(“Cahaya hari ini adalah bayangan hari esok.”)

Dan hari ini, bayangan itu terus hidup—dalam album keluarga, arsip sejarah, dan jutaan unggahan di media sosial—semua berkat seorang pria yang bermimpi membuat fotografi semudah menggunakan pensil.