19, Okt 2025
Dinamika Harga Gas Petroleum Global 2025

Tahun 2025 menjadi periode penuh gejolak bagi pasar gas petroleum global—khususnya Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan gas alam cair (LNG)—akibat interaksi kompleks antara ketegangan geopolitik, transisi energi, fluktuasi pasokan, dan permintaan yang tidak merata di berbagai kawasan. Bagi Indonesia, yang masih mengimpor sekitar 65% kebutuhan LPG nasional, dinamika harga gas petroleum global bukan sekadar isu perdagangan, melainkan faktor krusial yang memengaruhi inflasi, anggaran subsidi, neraca perdagangan, dan stabilitas sosial.

Dalam konteks transisi energi dan komitmen fiskal yang ketat, fluktuasi harga gas petroleum global pada 2025 menguji ketahanan ekonomi Indonesia sekaligus mendorong percepatan reformasi energi domestik. Artikel ini mengupas secara komprehensif tren harga gas petroleum global tahun 2025, faktor pendorong volatilitasnya, serta dampak ekonomi—langsung maupun tidak langsung—terhadap perekonomian nasional.


Tren dan Dinamika Harga Gas Petroleum Global 2025

1. Kisaran Harga dan Volatilitas

Sepanjang 2025, harga LPG internasional (berdasarkan indeks CP (Contract Price) Arab Saudi) berfluktuasi tajam:

  • Kuartal I: USD 620/ton (dipicu cuaca dingin ekstrem di Asia Timur dan Eropa)
  • Kuartal II: Turun ke USD 510/ton akibat penurunan permintaan musim panas dan overpasok dari AS
  • Kuartal III: Naik kembali ke USD 680/ton karena gangguan produksi di Teluk Persia dan lonjakan permintaan India menjelang musim dingin
  • Rata-rata tahunan: USD 605/ton, naik 12% dibanding rata-rata 2024

Sementara itu, harga LNG (berdasarkan indeks JKM – Japan Korea Marker) lebih stabil di kisaran USD 11–14/MMBtu, berkat diversifikasi pasokan dan kontrak jangka panjang.

2. Faktor Pendorong Fluktuasi Harga

Beberapa faktor utama yang membentuk dinamika harga gas petroleum global pada 2025:

  • Geopolitik Timur Tengah: Ketegangan antara Iran dan Arab Saudi mengganggu pasokan LPG dari kawasan Teluk, yang menyumbang 45% pasokan global.
  • Ekspansi Ekspor AS: Amerika Serikat menjadi eksportir LPG terbesar dunia (32 juta ton pada 2025), tetapi kapasitas pelabuhan dan kapal tanker terbatas menyebabkan bottleneck.
  • Permintaan Musiman: Lonjakan konsumsi di Asia (India, Tiongkok, Bangladesh) selama musim dingin mendorong harga naik.
  • Transisi Energi: Penurunan permintaan LPG di Eropa (karena beralih ke listrik dan hidrogen) diimbangi kenaikan di negara berkembang.
  • Nilai Tukar Dolar AS: Penguatan dolar membuat harga LPG dalam mata uang lokal (termasuk rupiah) menjadi lebih mahal.

Ketergantungan Indonesia terhadap Impor Gas Petroleum

Indonesia memproduksi sekitar 3,2 juta ton LPG per tahun (dari kilang Pertamina dan fasilitas LNG-to-LPG), namun kebutuhan nasional mencapai 9,2 juta ton pada 2025. Artinya, 6 juta ton (65%) masih diimpor, terutama dari:

  • Arab Saudi (45%)
  • Amerika Serikat (25%)
  • Qatar dan Australia (20%)
  • Singapura dan Malaysia (10%)

Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap guncangan harga global. Setiap kenaikan USD 100/ton berdampak pada:

  • Tambahan beban impor: USD 600 juta/tahun
  • Tekanan terhadap nilai tukar rupiah
  • Risiko defisit neraca perdagangan non-migas

Dampak Ekonomi terhadap Indonesia

1. Tekanan terhadap Anggaran Subsidi dan Perlindungan Sosial

Pemerintah menerapkan subsidi tepat sasaran untuk LPG 3 kg bagi 24,8 juta rumah tangga miskin (berdasarkan DTKS). Namun, kenaikan harga impor tetap membebani APBN:

  • Anggaran subsidi LPG 2025: Rp 38,2 triliun
  • Jika harga rata-rata naik 15%, dibutuhkan tambahan Rp 5,7 triliun

Untuk mengantisipasi, pemerintah memperkuat mekanisme automatic pricing dan memperluas penggunaan kartu kendali digital untuk mencegah kebocoran.

2. Inflasi dan Daya Beli Masyarakat

LPG adalah komponen penting dalam Indeks Harga Konsumen (IHK), khususnya kelompok makanan dan minuman. Kenaikan harga LPG non-subsidi (12 kg dan 50 kg) langsung memengaruhi:

  • Biaya produksi UMKM kuliner dan agroindustri
  • Harga makanan siap saji dan jasa boga
  • Biaya logistik (jika menggunakan LPG untuk kendaraan)

Pada 2025, kontribusi LPG terhadap inflasi energi mencapai 0,42 poin persentase, atau sekitar 15% dari total inflasi inti.

3. Neraca Perdagangan dan Devisa

Impor LPG menyumbang USD 3,7 miliar terhadap defisit neraca migas pada 2025. Meski kecil dibanding impor minyak mentah (USD 22 miliar), angka ini tetap signifikan karena:

  • LPG adalah komoditas dengan elastisitas harga tinggi
  • Fluktuasi tajam dapat memperburuk current account deficit

Namun, upaya peningkatan produksi domestik mulai membuahkan hasil:

  • Kilang Mini LPG di Balikpapan dan Cilacap mengurangi impor 300.000 ton/tahun
  • Proyek LNG-to-LPG di Bontang menambah pasokan 500.000 ton/tahun

4. Stimulus terhadap Investasi Energi Domestik

Tekanan harga global justru menjadi katalis percepatan investasi di sektor hulu dan hilir gas:

  • Pembangunan 3 kilang mini baru di Tuban, Dumai, dan Sorong (target operasi 2026–2027)
  • Ekspansi jaringan pipa gas kota (Jargas) ke 25 kota tambahan
  • Pengembangan bio-LPG dari limbah sawit dan minyak jelantah

Investasi di sektor gas petroleum mencapai Rp 24 triliun pada 2025, menciptakan 41.000 lapangan kerja.


Respons Kebijakan Pemerintah

Menghadapi volatilitas harga global, pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis:

  1. Diversifikasi Sumber Impor: Mengurangi ketergantungan pada Timur Tengah dengan meningkatkan impor dari AS dan Australia.
  2. Percepatan Swasembada LPG: Target 70% produksi domestik pada 2027 melalui kilang mini dan konversi LNG.
  3. Digitalisasi Distribusi: Aplikasi MyPertamina dan LPGku memantau stok, harga, dan penyaluran secara real-time.
  4. Pengembangan Energi Alternatif: Promosi kompor induksi di perkotaan dan biogas di pedesaan untuk mengurangi ketergantungan jangka panjang.
  5. Hedging Harga: Pertamina mulai menggunakan instrumen derivatif untuk lindung nilai (hedging) terhadap fluktuasi harga LPG global.

Prospek ke Depan: Menuju Ketahanan Gas Petroleum

Meski tantangan tetap ada, prospek jangka menengah cerah:

  • Produksi gas alam Indonesia diproyeksikan naik 8% per tahun berkat pengembangan lapangan Masela dan Jangkareng.
  • Bio-LPG akan menjadi pilar baru ketahanan energi, dengan target 500.000 ton/tahun pada 2030.
  • Integrasi gas dengan energi terbarukan (misalnya, PLTG sebagai backup untuk PLTS) memperkuat sistem energi nasional.

Penutup: Antara Ketergantungan dan Kedaulatan

Dinamika harga gas petroleum global pada 2025 mengingatkan Indonesia bahwa kedaulatan energi tidak bisa dibangun di atas impor. Namun, di tengah keterbatasan, negara ini menunjukkan ketangguhan melalui kebijakan yang adaptif, investasi yang strategis, dan komitmen terhadap keadilan energi.

Harga LPG global mungkin berfluktuasi, tetapi tekad Indonesia untuk memastikan setiap dapur rakyat tetap mengepul—dengan aman, bersih, dan terjangkau—tetap stabil. Di sinilah letak kekuatan sejati transformasi energi: bukan hanya mengganti sumber, tetapi menjamin keadilan dalam setiap nyala apinya.