5, Nov 2025
B.J. Habibie: Bapak Teknologi Indonesia dan Presiden yang Mengantar Era Reformasi

Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng (25 Juni 1936 – 11 September 2019), dikenal luas sebagai B.J. Habibie, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia. Ia bukan hanya seorang ilmuwan dan insinyur pesawat terbang kelas dunia, tetapi juga Presiden ketiga Republik Indonesia yang memainkan peran krusial dalam transisi Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi.

Dengan latar belakang akademik dan karier internasional yang cemerlang, Habibie membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu bersaing di kancah global dalam bidang teknologi tinggi. Namun, di tengah puncak karier internasionalnya, ia memilih pulang ke Tanah Air untuk mengabdi—membangun industri strategis nasional dan akhirnya memimpin bangsa di masa penuh gejolak.


Masa Muda dan Pendidikan

Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936, dari keluarga Bugis yang sederhana namun berpendidikan. Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie, adalah seorang ahli pertanian, sementara ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardojo, berasal dari Yogyakarta dan berprofesi sebagai bidan.

Masa kecil Habibie dipenuhi rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia gemar membaca, terutama buku teknik dan sains. Ketika Jepang menduduki Indonesia, keluarganya mengalami masa sulit, tetapi semangat belajar Habibie tak pernah padam.

Ia menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Makassar, lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (kini ITB) di Bandung. Namun, pada 1955, ia memperoleh beasiswa dari Menteri Pendidikan Indonesia untuk melanjutkan studi di Jerman Barat.

Di Jerman, Habibie menempuh studi teknik mesin di RWTH Aachen University, salah satu universitas teknik terkemuka di Eropa. Ia menyelesaikan gelar sarjana dalam waktu 3 tahun (dari jatah 4–5 tahun), lalu melanjutkan ke jenjang doktoral (Dr. Ing.) dengan predikat summa cum laude pada usia 26 tahun.

Disertasinya tentang “Pengaruh Panas pada Material Logam dalam Konstruksi Pesawat Terbang” menjadi landasan bagi teori “Faktor Habibie”, yang digunakan dalam desain struktur pesawat tahan panas dan tekanan ekstrem.


Karier Internasional di Dunia Penerbangan

Setelah lulus, Habibie bergabung dengan Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan terkemuka Jerman. Di sana, ia naik dengan cepat hingga menjadi Wakil Presiden sekaligus Direktur Teknologi—jabatan tertinggi yang pernah diraih oleh warga negara non-Eropa di perusahaan tersebut.

Kontribusinya meliputi:

  • Pengembangan desain sayap pesawat yang lebih efisien.
  • Riset aerodinamika dan termoelastisitas.
  • Partisipasi dalam proyek Airbus A-300, pesawat komersial jarak jauh pertama di Eropa.

Habibie dihormati di kalangan ilmuwan Eropa. Ia menjadi anggota berbagai akademi ilmu pengetahuan internasional, termasuk Royal Academy of Engineering (Inggris).

Namun, pada 1974, ketika Presiden Soeharto mengundangnya pulang ke Indonesia, Habibie tanpa ragu meninggalkan karier gemilangnya di Jerman untuk mengabdi kepada bangsa.


Membangun Industri Strategis Nasional

Di Indonesia, Habibie ditunjuk sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), jabatan yang diembannya selama 21 tahun (1978–1998)—rekor terlama dalam sejarah Indonesia.

Ia juga menjadi pendiri dan pimpinan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Di bawah kepemimpinannya, IPTN berhasil memproduksi:

  • Pesawat CN-235 (hasil kerja sama dengan CASA, Spanyol)
  • Pesawat angkut militer CASA/IPTN NC-212
  • Pesawat komuter N-250 Gatotkaca—pesawat pertama yang 100% dirancang dan diproduksi oleh putra-putri Indonesia

Puncaknya, pada 1995, N-250 melakukan penerbangan perdana yang disambut gegap gempita. Namun, krisis ekonomi 1997–1998 memaksa proyek pengembangan pesawat N-250 dihentikan, menjadi luka mendalam bagi Habibie.

Selain penerbangan, Habibie juga menginisiasi pengembangan industri strategis lainnya:

  • PT PAL (industri kapal)
  • PT Pindad (alat pertahanan)
  • BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)

Visinya: Indonesia harus mandiri dalam teknologi, terutama di sektor pertahanan dan transportasi.


Menjadi Presiden di Tengah Badai Reformasi

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa, di tengah gelombang reformasi, kerusuhan, dan krisis ekonomi. Sebagai Wakil Presiden, Habibie otomatis menggantikannya sesuai konstitusi.

Periode kepresidenannya (Mei 1998 – Oktober 1999) sangat singkat, tetapi sangat bersejarah. Dalam waktu kurang dari 18 bulan, Habibie melahirkan sejumlah terobosan demokratis yang mengubah wajah Indonesia:

  1. Pembebasan tahanan politik, termasuk para aktivis dan tokoh oposisi.
  2. Mencabut larangan pers, membuka era kebebasan media.
  3. Mengizinkan multipartai, mengakhiri monopoli Golkar.
  4. Menarik TNI dari fungsi sosial-politik.
  5. Menggelar pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru pada Juni 1999.
  6. Memberikan referendum kemerdekaan kepada Timor Timur (1999), keputusan kontroversial yang dikecam sebagian pihak, tetapi diakui dunia internasional sebagai langkah berani demi hak menentukan nasib sendiri.

Langkah-langkah ini membuat Habibie dijuluki “Bapak Reformasi” oleh sebagian kalangan, meski ia sendiri lebih suka disebut sebagai “penjaga pintu” yang membuka jalan bagi demokrasi.

Namun, Habibie tidak terpilih kembali dalam Sidang Umum MPR 1999. Ia digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Kehidupan Pribadi dan Cinta yang Legendaris

Habibie dikenal sangat setia kepada istrinya, Hasri Ainun Besari, yang dinikahinya pada 1962. Kisah cinta mereka—yang berawal dari masa SMA di Makassar—menjadi legenda. Ainun mendampinginya di Jerman, rela meninggalkan karier kedokterannya untuk menjadi ibu rumah tangga.

Ketika Ainun meninggal pada 2010 setelah berjuang melawan kanker, Habibie sangat terpukul. Ia menulis buku “Habibie & Ainun” sebagai ungkapan cinta, yang kemudian difilmkan dan menjadi salah satu film terlaris dalam sejarah perfilman Indonesia.

Habibie sering berkata:

“Ainun adalah cinta pertama dan terakhirku.”

Mereka dikaruniai dua putra: Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.


Warisan dan Penghargaan

Setelah masa kepresidenan, Habibie tetap aktif sebagai penasihat teknologi, pendidik, dan tokoh moral. Ia mendirikan Habibie Center, lembaga yang fokus pada demokrasi, HAM, dan pengembangan sains.

Beberapa penghargaan internasional yang diterimanya:

  • The Order of the Rising Sun (Jepang)
  • Grand Cross of the Order of Merit (Jerman)
  • Honorary Fellow of the Royal Academy of Engineering (Inggris)
  • Bintang Republik Indonesia Adipradana (Indonesia)

Ia juga menerima gelar kehormatan dari puluhan universitas di dalam dan luar negeri.


Meninggal Dunia dan Penghormatan Nasional

B.J. Habibie meninggal dunia pada 11 September 2019 di usia 83 tahun, setelah menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, di samping makam sang istri tercinta, Ainun.

Presiden Joko Widodo menyatakan:

“Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya—seorang negarawan, ilmuwan, dan pemimpin yang visioner.”

Ribuan warga, dari berbagai lapisan masyarakat, mengantarkan kepergian pria yang dikenal rendah hati, pekerja keras, dan penuh cinta kepada bangsanya.


Kesimpulan

B.J. Habibie adalah perwujudan “ilmuwan yang merakyat” dan “pemimpin yang berani mengambil risiko demi kebenaran.” Ia membuktikan bahwa kecerdasan teknis dan integritas moral bisa berjalan beriringan. Dari hanggar pesawat di Jerman hingga podium kepresidenan di Jakarta, ia selalu konsisten: mengabdi, bukan mencari kejayaan pribadi.

Dalam dunia yang sering memisahkan sains dan kemanusiaan, Habibie menjadi jembatan. Ia tidak hanya membangun pesawat, tetapi juga membangun harapan—bahwa Indonesia mampu menjadi bangsa yang maju, berdaulat, dan beradab.

Seperti pesannya yang terkenal:

“Jangan pernah takut bermimpi besar. Karena mimpi besar itulah yang akan membawa bangsa ini terbang tinggi.”

Tinggalkan Balasan