7, Sep 2025
“Dinamika Ekonomi Industri Makanan Kaleng”

Di tengah hiruk-pikuk industri makanan modern yang didominasi oleh produk segar, beku, dan siap saji instan, makanan kaleng seringkali dianggap “jadul” atau ketinggalan zaman. Namun, di balik persepsi itu, industri makanan kaleng justru terus tumbuh — bahkan mengalami lonjakan permintaan selama dan pasca pandemi. Makanan kaleng, dengan keunggulan daya tahan lama, praktis, dan aman dikonsumsi dalam kondisi darurat, kini kembali menjadi primadona — baik di pasar domestik maupun global.

Dinamika ekonomi industri makanan kaleng mencakup rantai nilai yang kompleks: dari pemilihan bahan baku, proses pengalengan yang ketat, logistik distribusi global, hingga perilaku konsumen yang terus berubah. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana industri ini beroperasi, tantangan yang dihadapi, peluang pertumbuhan, serta peran Indonesia di dalam peta persaingan global.


Profil Industri Makanan Kaleng: Sektor yang Tak Pernah Mati

Industri makanan kaleng adalah bagian dari sektor pengolahan pangan yang mengemas produk dalam wadah kedap udara (biasanya logam atau kaca) untuk memperpanjang masa simpan tanpa perlu pendinginan. Produk utamanya meliputi:

  • Ikan kaleng (sarden, tuna, mackerel)
  • Sayuran kaleng (jagung, kacang polong, jamur)
  • Buah kaleng (peach, lychee, pineapple)
  • Daging kaleng (corned beef, daging sapi, ayam)
  • Sup dan saus kaleng (tomat, kari, bolognese)

Secara global, pasar makanan kaleng diproyeksikan tumbuh dari USD 98,5 miliar pada 2023 menjadi USD 135 miliar pada 2030 (CAGR 4,6%) — menurut laporan Fortune Business Insights (2024). Pertumbuhan ini didorong oleh urbanisasi, gaya hidup sibuk, kesiapsiagaan bencana, dan meningkatnya permintaan akan pangan fungsional dan siap saji.


Rantai Nilai Industri Makanan Kaleng: Dari Bahan Baku hingga Konsumen

1. Pengadaan Bahan Baku

Bahan baku utama industri makanan kaleng berasal dari sektor pertanian, perikanan, dan peternakan. Ketersediaan, kualitas, dan harga bahan baku sangat fluktuatif — dipengaruhi oleh musim, cuaca, kebijakan ekspor-impor, dan geopolitik.

Contoh:

  • Industri sarden bergantung pada pasokan ikan laut — yang rentan terhadap overfishing dan regulasi lingkungan.
  • Industri buah kaleng membutuhkan pasokan buah segar berkualitas tinggi — yang bisa terganggu oleh gagal panen atau kenaikan upah petani.

Di Indonesia, bahan baku seperti ikan tuna, nanas, dan jagung melimpah — menjadikan negara ini sebagai basis produksi yang strategis.

2. Proses Produksi dan Pengalengan

Proses pengalengan melibatkan tahapan ketat: pembersihan, pemasakan, pengemasan, sterilisasi, dan pendinginan. Teknologi otomatisasi kini banyak digunakan untuk menjaga konsistensi kualitas dan keamanan pangan.

Faktor kritis dalam produksi:

  • Keamanan pangan: Harus memenuhi standar HACCP, ISO 22000, dan regulasi BPOM (di Indonesia) atau FDA (di AS).
  • Efisiensi energi: Proses sterilisasi membutuhkan energi besar — mendorong inovasi teknologi hijau.
  • Kemasan berkelanjutan: Permintaan akan kaleng daur ulang (recycled steel/aluminum) dan label ramah lingkungan terus meningkat.

3. Distribusi dan Logistik Global

Makanan kaleng memiliki keunggulan logistik: tahan lama, tidak perlu cold chain, dan mudah ditumpuk. Ini memungkinkan ekspor jarak jauh dengan biaya rendah.

Namun, tantangannya:

  • Biaya logistik laut yang fluktuatif (terutama pasca pandemi dan perang Ukraina).
  • Hambatan non-tarif di pasar tujuan (label halal, sertifikasi organik, batasan BPA dalam kaleng).
  • Persaingan dengan produk lokal di negara tujuan.

4. Pemasaran dan Konsumsi

Perilaku konsumen terhadap makanan kaleng berubah drastis. Dulu dianggap “darurat” atau “murahan”, kini makanan kaleng dipasarkan sebagai:

  • Solusi gaya hidup modern: cepat, praktis, dan bergizi.
  • Produk siap saji premium: dengan bahan organik, tanpa pengawet, dan kemasan estetik.
  • Bagian dari kesiapan bencana: banyak rumah tangga di AS dan Jepang menyimpan stok makanan kaleng untuk antisipasi gempa atau badai.

Platform e-commerce dan media sosial juga memainkan peran besar dalam membangun branding dan edukasi konsumen.


Tantangan Utama Industri Makanan Kaleng

1. Persepsi Negatif Konsumen

Banyak konsumen masih menganggap makanan kaleng “kurang sehat” karena mengandung pengawet atau kehilangan nutrisi selama proses pemanasan. Padahal, teknologi modern memungkinkan pengalengan tanpa pengawet kimia dan dengan retensi nutrisi tinggi.

2. Persaingan dengan Produk Alternatif

Makanan beku, vacuum-sealed, dan chilled ready-to-eat kini lebih populer di kalangan konsumen urban. Mereka dianggap lebih “segar” dan “premium” — meskipun harganya lebih mahal dan butuh rantai dingin.

3. Fluktuasi Harga Bahan Baku dan Energi

Kenaikan harga minyak, gas, dan logam (untuk kaleng) langsung memengaruhi biaya produksi. Selain itu, krisis iklim dan geopolitik membuat pasokan ikan dan sayuran tidak stabil.

4. Regulasi Lingkungan dan Kemasan

Tekanan global terhadap limbah plastik dan logam mendorong regulasi ketat. Uni Eropa, misalnya, mewajibkan semua kemasan logam harus dapat didaur ulang 100% pada 2030. Produsen harus berinvestasi dalam material ramah lingkungan dan sistem daur ulang.

5. Standar Internasional yang Ketat

Untuk ekspor, produsen harus memenuhi standar keamanan pangan, label nutrisi, dan sertifikasi halal/organik — yang seringkali mahal dan rumit, terutama bagi UMKM.


Peluang Pertumbuhan dan Strategi Industri

✅ 1. Ekspor Berbasis Keunggulan Komparatif

Indonesia punya keunggulan besar di produk ikan laut (tuna, sarden, mackerel) dan buah tropis (nanas, kelapa, mangga). Dengan branding “tropical taste” dan sertifikasi internasional, produk kaleng Indonesia bisa menembus pasar AS, Eropa, dan Timur Tengah.

✅ 2. Inovasi Produk dan Kemasan

  • Produk fungsional: rendah garam, tinggi protein, fortifikasi vitamin.
  • Kemasan mini/single serve: untuk konsumen urban dan anak muda.
  • Kaleng dengan desain estetik: bisa dijadikan wadah serbaguna setelah dikosongkan — meningkatkan nilai tambah dan branding.

✅ 3. Go Digital dan E-commerce

Platform seperti Shopee, Tokopedia, Amazon, dan Alibaba membuka akses langsung ke konsumen global. Strategi konten (resep, video unboxing, testimoni) bisa mengubah persepsi negatif menjadi positif.

✅ 4. Sertifikasi dan Branding Global

Investasi dalam sertifikasi halal, organik, MSC (Marine Stewardship Council), dan BPA-free bisa menjadi pembeda di pasar global. Branding “Made in Indonesia” dengan cerita keberlanjutan dan kearifan lokal juga menarik bagi konsumen global.

✅ 5. Kolaborasi dan Hilirisasi

Industri bisa berkolaborasi dengan nelayan/petani lokal melalui skema kemitraan — menjamin pasokan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Hilirisasi — misalnya dari ikan mentah ke produk kaleng bernilai tambah — juga meningkatkan margin keuntungan.


Peran Indonesia dalam Peta Industri Global

Indonesia bukan hanya pasar konsumen, tapi juga produsen dan eksportir penting. Beberapa fakta:

  • Indonesia adalah salah satu eksportir utama ikan kaleng (terutama tuna) ke AS, Eropa, dan Timur Tengah.
  • Perusahaan seperti ABC, Fiesta, dan So Good telah membangun merek kuat di pasar domestik dan mulai ekspansi ke ASEAN.
  • Investasi asing mulai masuk — seperti pabrik tuna kaleng berstandar Jepang di Bitung dan Morowali.

Namun, tantangan struktural masih ada:

  • Infrastruktur logistik antar-pulau yang mahal dan lambat.
  • Minimnya riset dan pengembangan produk baru.
  • Kurangnya branding global dan diplomasi dagang yang agresif.

Kesimpulan: Makanan Kaleng — Warisan Industri yang Terus Berinovasi

Industri makanan kaleng bukanlah sektor yang usang — ia adalah contoh nyata bagaimana industri tradisional bisa bertahan dan berkembang dengan beradaptasi terhadap dinamika zaman. Dari bahan baku lokal hingga konsumsi global, rantai nilai industri ini terus bertransformasi: lebih efisien, lebih inovatif, dan lebih berkelanjutan.

Bagi Indonesia, industri makanan kaleng adalah peluang emas untuk meningkatkan ekspor, menciptakan lapangan kerja, dan mengangkat produk lokal ke panggung dunia. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, investasi dalam inovasi dan branding, serta kolaborasi antar-pemangku kepentingan, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam industri makanan kaleng global.

Karena di era modern ini, makanan kaleng bukan lagi simbol keterpaksaan — tapi simbol kemandirian pangan, inovasi rasa, dan kesiapan menghadapi masa depan.

Tinggalkan Balasan