26, Okt 2025
Dari Metaverse ke Real Estate: Tren Virtual Property yang Makin Nyata di 2025

Pada awal dekade ini, istilah metaverse kerap dianggap sebagai fantasi futuristik—dunia virtual tempat orang bermain game, bersosialisasi, atau sekadar “jalan-jalan” sebagai avatar. Namun, memasuki tahun 2025, batas antara dunia digital dan fisik semakin kabur. Salah satu manifestasi paling nyata dari pergeseran ini adalah virtual property: lahan, gedung, dan ruang digital yang tidak hanya eksis di layar, tetapi memiliki nilai ekonomi, hak kepemilikan, dan fungsi sosial yang nyata.

Di tengah pesatnya adopsi teknologi Web3, blockchain, dan realitas campuran (mixed reality), aset virtual kini diperdagangkan seperti properti fisik—dibeli, disewa, dikembangkan, bahkan dijadikan jaminan pinjaman. Di Indonesia dan global, tren ini tidak lagi sekadar hobi kolektor digital, melainkan bagian dari ekosistem ekonomi kreatif, pendidikan, dan bisnis yang berkembang pesat.

Artikel ini mengupas evolusi virtual property, dinamika pasar 2025, studi kasus nyata, serta implikasi hukum, sosial, dan ekonominya bagi masa depan real estat—baik di dunia nyata maupun maya.


1. Apa Itu Virtual Property?

Virtual property merujuk pada aset digital berupa lahan (virtual land), bangunan, atau ruang dalam lingkungan metaverse yang:

  • Memiliki koordinat unik dalam dunia virtual (misalnya di Decentraland, The Sandbox, atau platform lokal seperti Nusaverse).
  • Dicatat kepemilikannya melalui NFT (Non-Fungible Token) di blockchain.
  • Dapat dikembangkan, disewakan, atau dimonetisasi—misalnya dengan membangun toko virtual, galeri seni, kantor, atau arena konser.

Berbeda dengan item game biasa, virtual property bersifat langka, dapat diperdagangkan lintas platform (dalam batas tertentu), dan dimiliki sepenuhnya oleh pengguna—bukan oleh perusahaan pengembang.


2. Mengapa Virtual Property Meledak di 2025?

Beberapa faktor konvergen mendorong ledakan minat terhadap virtual property:

a. Adopsi Massal Metaverse untuk Aktivitas Nyata

Perusahaan seperti Telkom Indonesia, Bank Mandiri, dan Unilever kini memiliki kantor virtual permanen di metaverse untuk rapat internal, pelatihan karyawan, atau pameran produk. Universitas seperti UI dan ITB membuka kampus virtual untuk wisuda, seminar internasional, dan laboratorium simulasi.

b. Tokenisasi dan Likuiditas Aset Digital

Dengan NFT dan blockchain, kepemilikan virtual property menjadi transparan, aman, dan mudah diperjualbelikan di marketplace seperti OpenSea, Blur, atau platform lokal NFTProp.id.

c. Kebutuhan Ruang Digital yang Personal

Generasi Z dan Alpha tidak hanya ingin “hadir” di dunia maya—mereka ingin memiliki ruang identitas digital: rumah virtual untuk berkumpul dengan teman, studio seni untuk pameran karya, atau toko untuk menjual NFT buatan sendiri.

d. Integrasi dengan Dunia Fisik

Beberapa pengembang properti fisik kini menawarkan paket ganda: beli apartemen di Jakarta, dapatkan juga lahan virtual di metaverse dengan desain serupa—sebagai ruang ekspansi digital bagi pemilik.


3. Studi Kasus: Virtual Property di Indonesia dan Global

a. Nusaverse: Metaverse Berbasis Budaya Indonesia

Diluncurkan oleh konsorsium BUMN dan startup lokal pada 2024, Nusaverse adalah metaverse pertama di Asia Tenggara yang berbasis pada peta dan budaya Nusantara. Di sini:

  • Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki alun-alun virtual untuk acara budaya.
  • UMKM batik menjual kain digital yang bisa dipakai avatar—dan dikirimkan versi fisiknya ke dunia nyata.
  • Lahan di “Jakarta Pusat Virtual” terjual seharga 5–15 ETH (sekitar Rp150–450 juta) pada lelang awal 2025.

b. Global: Dari Galeri Seni hingga Konser Virtual

  • Artis seperti BLACKPINK dan Coldplay menggelar konser di The Sandbox, menarik jutaan penonton dan menghasilkan pendapatan tiket dalam bentuk kripto.
  • Museum Louvre membuka cabang virtual di Decentraland, memungkinkan pengunjung dari seluruh dunia melihat Mona Lisa tanpa antre.

c. Pendidikan dan Pelatihan

Politeknik Negeri Bali menggunakan lahan virtual untuk simulasi manajemen hotel, di mana mahasiswa mengelola resor digital lengkap dengan tamu AI dan sistem keuangan real-time.


4. Model Bisnis Virtual Property 2025

Jual-Beli LahanSpekulasi nilai lahan di lokasi strategis (dekat pusat kota virtual, pintu masuk, dll)Lahan di “Metaverse Central” naik 300% dalam 1 tahun
Sewa Ruang VirtualMenyewakan ruang untuk acara, toko, atau kantorSewa booth pameran: 0,5 ETH/minggu
Pengembangan Properti DigitalMembangun gedung menarik lalu menjual atau menyewakanDeveloper “MetaArch” membangun mall virtual dengan 50 tenant
Iklan & BrandingBillboard digital di lokasi ramaiCoca-Cola pasang iklan di langit virtual Jakarta
Hybrid ExperienceMenghubungkan pengalaman virtual-fisikBeli kopi di toko nyata → dapat akses ke lounge eksklusif di metaverse

5. Tantangan dan Pertimbangan Kritis

a. Volatilitas Nilai dan Spekulasi

Harga virtual property sangat fluktuatif—dipengaruhi tren, adopsi platform, dan sentimen pasar kripto. Banyak investor mengalami kerugian saat platform kehilangan pengguna.

b. Fragmentasi Platform

Lahan di Decentraland tidak bisa dipindahkan ke The Sandbox. Ini menciptakan “pulau-pulau digital” yang menghambat interoperabilitas—tantangan utama industri.

c. Regulasi yang Masih Abu-Abu

Di Indonesia, belum ada kerangka hukum yang jelas mengenai:

  • Pajak atas keuntungan jual-beli virtual property
  • Perlindungan konsumen dalam transaksi NFT
  • Status hukum kontrak sewa virtual

Kementerian Kominfo dan OJK sedang menyusun Pedoman Aset Digital 2026, yang akan mencakup aspek properti virtual.

d. Dampak Sosial dan Psikologis

Kekhawatiran muncul bahwa generasi muda akan lebih terikat pada dunia virtual daripada membangun komunitas fisik. Namun, banyak juga yang melihatnya sebagai ruang ekspresi kreatif yang inklusif—terutama bagi penyandang disabilitas atau mereka di daerah terpencil.


6. Masa Depan: Menuju Ekosistem Properti Hibrid

Pada 2030, kita membayangkan:

  • Dompet Properti Digital Nasional: Setiap warga memiliki identitas digital yang mencakup aset fisik dan virtual.
  • Asuransi Virtual Property: Perusahaan asuransi menawarkan perlindungan terhadap peretasan, kehilangan akses, atau kerusakan digital.
  • Kota Cerdas Dual-Layer: Setiap kota fisik memiliki “kembaran digital” (digital twin) yang berfungsi sebagai ruang perencanaan, edukasi, dan partisipasi publik.

Yang pasti, virtual property bukan akan menggantikan real estat fisik—melainkan melengkapi dan memperluas maknanya. Rumah tidak lagi hanya dinding dan atap, tapi juga ruang identitas di dunia digital.


Penutup

Tren virtual property di 2025 adalah cerminan dari pergeseran budaya yang lebih dalam: manusia kini hidup di dua dunia sekaligus—dan keduanya sama nyatanya. Bagi seorang seniman muda di Makassar, galeri virtual mungkin satu-satunya cara karyanya dilihat dunia. Bagi perusahaan multinasional, kantor metaverse bisa menghemat miliaran rupiah biaya operasional. Dan bagi generasi mendatang, “memiliki rumah” mungkin berarti memiliki ruang di mana pun—nyata atau digital.

Namun, di balik gemerlap NFT dan lahan virtual, tantangan terbesar tetap sama: bagaimana memastikan teknologi ini memperluas akses, bukan memperdalam ketimpangan.

Seperti kata seorang pengembang muda di Bandung yang membangun “Kampung Virtual” untuk UMKM:

“Dulu, cuma yang punya uang bisa buka toko di mall. Sekarang, siapa pun bisa punya toko di metaverse—cukup modal kreativitas dan koneksi internet.”

Dan di situlah letak kekuatan sejati dari virtual property: demokratisasi ruang, identitas, dan peluang—di dunia yang tak lagi dibatasi geografi.