Pembelajaran Immersive: Peran VR dan AR dalam Membentuk Kelas Masa Depan
Di era digital yang terus berkembang pesat, batas antara dunia nyata dan virtual semakin kabur—terutama dalam dunia pendidikan. Tahun 2025 menjadi momentum penting di mana pembelajaran immersive, yang didukung oleh teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR), bukan lagi eksperimen futuristik, melainkan bagian integral dari kurikulum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia dan dunia.
Dari simulasi anatomi tubuh manusia hingga eksplorasi situs sejarah kuno, VR dan AR membuka dimensi baru dalam cara siswa memahami, mengalami, dan mengingat pengetahuan. Artikel ini mengulas secara komprehensif bagaimana teknologi immersive membentuk kelas masa depan, manfaatnya, tantangannya, serta proyeksi ke depan dalam konteks pendidikan nasional dan global.
1. Apa Itu Pembelajaran Immersive?
Pembelajaran immersive adalah pendekatan edukasi yang menyelubungi peserta didik dalam lingkungan digital interaktif, sehingga mereka tidak hanya membaca atau mendengar informasi, tetapi benar-benar mengalaminya. Dua teknologi utama yang mewujudkannya adalah:
- Virtual Reality (VR): Menciptakan dunia digital 360° yang sepenuhnya imersif, biasanya melalui headset (seperti Meta Quest 3, Pico 4, atau perangkat lokal seperti Garuda VR).
- Augmented Reality (AR): Menambahkan lapisan digital (gambar, suara, teks) ke dunia nyata melalui perangkat seperti smartphone, tablet, atau kacamata pintar (misalnya Microsoft HoloLens atau aplikasi AR berbasis Android/iOS).
Keduanya memungkinkan siswa belajar dengan cara “learning by doing” dalam konteks yang aman, menarik, dan berulang.
2. Transformasi di Ruang Kelas: Studi Kasus Nyata
a. Sekolah Dasar dan Menengah
Di SDN Menteng 01 Jakarta, siswa kelas 5 kini “mengunjungi” Piramida Giza melalui VR selama pelajaran sejarah. Mereka bisa berjalan di sekitar makam Firaun, melihat hieroglif, dan bahkan menyaksikan rekonstruksi proses pembangunan—semua dari ruang kelas.
Sementara itu, di SMPN 1 Yogyakarta, aplikasi AR seperti “Benda AR” memungkinkan siswa mengarahkan kamera ponsel ke buku pelajaran dan melihat model 3D sistem tata surya yang berputar di atas meja.
“Anak-anak lebih fokus dan bertanya lebih banyak sejak kami pakai AR. Mereka merasa seperti ilmuwan,” kata Bu Lina, guru IPA.
b. Perguruan Tinggi dan Pelatihan Profesional
Di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mahasiswa menggunakan VR untuk melakukan simulasi operasi jantung tanpa risiko nyata. Di Politeknik Negeri Bandung, calon insinyur mesin berlatih merakit mesin jet dengan bantuan AR yang menampilkan instruksi langkah demi langkah di atas komponen fisik.
Bahkan di bidang seni, mahasiswa ISI Yogyakarta menciptakan pameran seni virtual di platform seperti Mozilla Hubs, memungkinkan pengunjung dari seluruh dunia menjelajahi karya mereka secara immersive.
3. Manfaat Pembelajaran Immersive
a. Peningkatan Retensi dan Pemahaman
Studi dari Stanford University (2024) menunjukkan bahwa siswa yang belajar melalui VR memiliki retensi memori hingga 75% lebih tinggi dibanding metode tradisional. Hal ini karena otak merekam pengalaman sensorik sebagai “kenangan nyata”.
b. Akses ke Pengalaman yang Tidak Mungkin di Dunia Nyata
Siswa bisa:
- Menyelam ke dasar laut Mariana Trench
- Mengamati reaksi kimia berbahaya secara aman
- Berdialog dengan avatar tokoh sejarah seperti Soekarno atau Marie Curie
c. Pembelajaran Inklusif
Anak dengan ADHD atau disleksia sering kali lebih responsif terhadap stimulasi visual dan interaktif. AR/VR memberikan alternatif pembelajaran multisensori yang menyesuaikan gaya belajar beragam.
d. Kolaborasi Global
Kelas di Surabaya bisa berkolaborasi dengan siswa di Tokyo atau Nairobi dalam proyek lingkungan virtual, membangun solusi bersama di dunia metaverse edukasi.
4. Tantangan Implementasi di Indonesia
Meski potensinya besar, adopsi VR/AR dalam pendidikan di Indonesia masih menghadapi hambatan:
- Infrastruktur terbatas: Banyak sekolah di daerah belum memiliki perangkat, internet stabil, atau listrik 24 jam.
- Biaya investasi awal: Headset VR berkualitas masih mahal (Rp3–7 juta/unit), meski harga terus turun.
- Kurangnya pelatihan guru: Banyak pendidik belum siap mengintegrasikan teknologi ini ke dalam RPP.
- Konten lokal yang minim: Sebagian besar aplikasi edukasi VR/AR berbahasa Inggris dan tidak sesuai konteks budaya Indonesia.
Namun, upaya kolaboratif mulai menunjukkan hasil. Program “Kelas Masa Depan” oleh Kemdikbudristek bekerja sama dengan startup lokal seperti Immersive Edu dan Dagelan VR untuk mengembangkan konten berbasis kurikulum nasional dalam bahasa Indonesia.
5. Inisiatif Nasional dan Global
- Indonesia:
- Peluncuran Pusat Inovasi Pembelajaran Immersive di 5 provinsi (Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Bali, Sulawesi Selatan).
- Integrasi modul AR/VR dalam Kurikulum Merdeka edisi 2025 untuk mata pelajaran IPA, Sejarah, dan Seni.
- Global:
- Google Expeditions (kini bagian dari Google Arts & Culture) menyediakan ratusan tur virtual gratis.
- Apple Vision Pro dan Meta Quest for Education menawarkan platform khusus guru dengan alat manajemen kelas.
6. Masa Depan: Kelas Tanpa Batas
Dalam 5–10 tahun ke depan, kita bisa membayangkan:
- Kelas hybrid immersive: Siswa di rumah dan di sekolah berada dalam ruang virtual yang sama, berinteraksi dengan avatar dan objek 3D.
- AI + VR/AR: Asisten AI pribadi dalam lingkungan VR memberi umpan balik real-time saat siswa melakukan eksperimen.
- Sertifikasi berbasis pengalaman: Portofolio siswa tidak hanya berisi nilai, tapi juga rekaman aktivitas immersive (misalnya: “Menyelesaikan simulasi bencana gempa bumi dalam VR”).
Yang pasti, teknologi ini bukan tujuan akhir—melainkan alat untuk memperdalam empati, rasa ingin tahu, dan kreativitas, nilai-nilai inti pendidikan manusia.
Penutup
Pembelajaran immersive bukanlah fantasi fiksi ilmiah lagi. Di tahun 2025, VR dan AR telah membuktikan diri sebagai mitra kuat dalam menciptakan kelas yang lebih hidup, relevan, dan manusiawi. Tantangannya nyata, tapi peluangnya jauh lebih besar.
Seperti kata seorang siswa SMP di Malang setelah pertama kali menjelajahi DNA dalam VR:
“Bu, tadi aku masuk ke dalam sel tubuhku sendiri. Sekarang aku ngerti kenapa aku harus sehat.”
Di situlah letak keajaiban pembelajaran immersive: mengubah abstraksi menjadi pengalaman, dan pengalaman menjadi pemahaman yang tak terlupakan.

