Gas Petroleum sebagai Penggerak Ekonomi Hijau Indonesia 2025
Di tengah percepatan transisi energi global dan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, muncul pertanyaan krusial: bagaimana negara dengan ketergantungan historis pada energi fosil bisa bertransformasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial? Jawaban yang semakin jelas pada tahun 2025 adalah: gas petroleum—khususnya Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan gas alam—bukan penghambat, melainkan penggerak strategis dalam transformasi energi nasional menuju ekonomi hijau.
Berbeda dari batu bara atau minyak mentah, gas petroleum menawarkan keseimbangan unik antara keandalan, efisiensi, dan emisi rendah. Dalam arsitektur energi Indonesia 2025, gas petroleum diposisikan sebagai jembatan transisi yang memungkinkan pengurangan emisi jangka pendek sekaligus membangun fondasi bagi integrasi energi terbarukan jangka panjang. Lebih dari itu, sektor ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi hijau—melalui industrialisasi bersih, pemberdayaan UMKM, inovasi teknologi, dan pengembangan energi berbasis biomassa.
Artikel ini mengupas bagaimana gas petroleum bertransformasi dari komoditas energi konvensional menjadi penggerak ekonomi hijau dalam kerangka transformasi energi nasional Indonesia 2025.
Gas Petroleum dalam Peta Jalan Transisi Energi Indonesia
Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Nationally Determined Contributions (NDC):
- Porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23% pada 2025 (diperbarui menjadi 25% dalam NDC Enhanced 2023)
- Penurunan emisi GRK sebesar 31,89% dengan upaya sendiri pada 2030
- Penghentian bertahap PLTU batu bara pada 2040
Namun, realitas menunjukkan bahwa intermitensi energi surya dan angin, serta keterbatasan baterai, membuat transisi instan ke 100% EBT tidak feasible. Di sinilah peran gas petroleum menjadi krusial:
Gas alam dan LPG berfungsi sebagai backup power dan baseload cleaner yang memastikan stabilitas sistem kelistrikan selama transisi.
Menurut Kementerian ESDM (2025), gas bumi menyumbang 21% bauran energi nasional, sementara LPG menjadi sumber energi termal utama bagi 86% rumah tangga dan 60% UMKM—menggantikan bahan bakar kotor seperti minyak tanah dan kayu bakar.
Gas Petroleum sebagai Penggerak Ekonomi Hijau
1. Pengurangan Emisi melalui Substitusi Bahan Bakar Kotor
Transformasi terbesar terjadi di sektor rumah tangga dan UMKM. Sejak program konversi minyak tanah ke LPG dimulai, Indonesia telah menghindari emisi sekitar 14 juta ton CO₂e per tahun. Pada 2025, dampaknya diperkuat oleh:
- Penggunaan LPG di 28 juta rumah tangga, mengurangi deforestasi akibat penggunaan kayu bakar
- Adopsi kompor LPG di 1,2 juta UMKM, menggantikan batu bara dan minyak residu
- Penurunan polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution), yang menyelamatkan ribuan nyawa dari ISPA dan PPOK
Menurut KLHK, konversi ke LPG setara dengan menanam 200 juta pohon setiap tahun.
2. Industrialisasi Rendah Karbon Berbasis Gas
Gas alam menjadi tulang punggung industri manufaktur rendah karbon:
- Pabrik semen menggunakan gas sebagai pengganti batu bara (co-firing)
- Industri kimia dan pupuk (seperti Pupuk Kaltim dan Pusri) beroperasi 100% berbasis gas
- Kawasan industri terpadu (KIT) di Batang dan Morowali mengandalkan pipa gas untuk efisiensi energi
Investasi di sektor industri berbasis gas mencapai Rp 42 triliun pada 2025, menciptakan 85.000 lapangan kerja hijau—pekerjaan yang mendukung dekarbonisasi sekaligus produktivitas.
3. Pengembangan Bio-LPG: Masa Depan Gas Petroleum Berkelanjutan
Langkah paling revolusioner pada 2025 adalah komersialisasi Bio-LPG—LPG yang diproduksi dari sumber biomassa terbarukan:
- Minyak jelantah
- Limbah kelapa sawit (POME dan sludge)
- Biogas dari limbah ternak dan TPA
Pabrik percontohan di Dumai (Riau) dan Karawang (Jawa Barat) telah menghasilkan 15.000 ton bio-LPG/tahun, dengan emisi 80% lebih rendah dibanding LPG fosil. Bio-LPG tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga:
- Menciptakan pasar baru bagi limbah pertanian
- Mengurangi impor LPG
- Menjadi bagian dari ekonomi sirkular
Pemerintah menargetkan 5% campuran bio-LPG dalam pasokan nasional pada 2030.
4. Infrastruktur Gas sebagai Tulang Punggung Energi Masa Depan
Pembangunan jaringan pipa gas kota dan SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) dipercepat:
- Jargas (Jaringan Gas Rumah Tangga) telah menjangkau 1,2 juta sambungan di 58 kota
- Konversi kendaraan umum ke CNG/LPG mencapai 32.000 unit, mengurangi emisi transportasi
- PLTG berbasis gas dengan efisiensi >60% menggantikan PLTU tua
Infrastruktur ini dirancang agar di masa depan dapat dialihkan ke hidrogen hijau atau biogas, menjadikannya aset jangka panjang dalam ekonomi nol karbon.
Kebijakan Pendukung Transformasi Hijau
Pemerintah mendorong peran gas petroleum dalam ekonomi hijau melalui kebijakan strategis:
- Perpres No. 112/2022: Memasukkan gas sebagai bagian dari transisi energi yang adil (just energy transition)
- Insentif fiskal: Pembebasan PPN untuk bio-LPG dan investasi infrastruktur gas di daerah 3T
- Program LPG Hijau: Subsidi kompor dan tabung untuk UMKM yang beralih dari batu bara
- Kemitraan publik-swasta: Kolaborasi Pertamina, ITB, dan startup energi dalam riset bio-LPG
Selain itu, skema karbon kredit mulai diterapkan untuk proyek substitusi LPG, memungkinkan pendanaan dari pasar karbon global.
Tantangan dan Respons Strategis
Meski progres signifikan telah dicapai, tantangan tetap ada:
- Ketergantungan Impor LPG: Sekitar 65% LPG masih diimpor, membuat harga rentan terhadap fluktuasi global.
→ Respons: Percepat kilang mini, LNG-to-LPG, dan bio-LPG. - Persaingan dengan Listrik dan EBT: Kompor induksi dan panel surya semakin kompetitif.
→ Respons: Fokus pada segmen yang membutuhkan energi termal tinggi (UMKM, industri). - Stigma “Gas = Fosil”: Beberapa kalangan menganggap gas bertentangan dengan NZE.
→ Respons: Edukasi bahwa gas adalah transition fuel, bukan endgame. - Kesenjangan Akses: Infrastruktur gas belum merata di Indonesia timur.
→ Respons: Program Jargas desentralisasi dan LPG berbasis kapal (floating storage).
Penutup: Gas Petroleum, Jembatan Menuju Masa Depan Hijau
Pada 2025, gas petroleum di Indonesia telah melampaui perannya sebagai sekadar bahan bakar. Ia menjadi penggerak ekonomi hijau yang inklusif—mengurangi emisi, menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, dan membangun infrastruktur yang siap untuk masa depan berbasis hidrogen dan energi terbarukan.
Transformasi ini membuktikan bahwa transisi energi bukan soal memilih antara pertumbuhan atau lingkungan, tetapi bagaimana memadukan keduanya secara cerdas. Dengan gas petroleum sebagai jembatan, Indonesia tidak hanya bergerak menuju ekonomi hijau, tetapi memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal di perjalanan.
Seperti dinyatakan dalam dokumen kebijakan Kementerian ESDM 2025:
“Kami tidak menunda transisi. Kami membangun jembatannya—dengan batu bata dari gas, baja dari inovasi, dan fondasi dari keadilan.”
Dengan pendekatan ini, gas petroleum akan terus menjadi penggerak, bukan penghambat, dalam misi Indonesia mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya.

