19, Okt 2025
Penggunaan Briket Batu Bara terhadap Ketahanan Energi Nasional 2025

Di tengah gejolak pasar energi global, krisis pasokan LPG, dan ketimpangan akses energi di wilayah terpencil, Indonesia pada tahun 2025 mengambil langkah strategis dengan mengintegrasikan briket batu bara ke dalam arsitektur ketahanan energi nasional. Meski batu bara kerap dikaitkan dengan emisi karbon, bentuk olahannya dalam bentuk briket—dengan teknologi modern dan standar emisi ketat—menawarkan solusi ekonomi yang realistis, inklusif, dan berbasis sumber daya domestik.

Penggunaan briket batu bara bukan hanya soal substitusi bahan bakar, tetapi bagian dari upaya memperkuat kedaulatan energi, mengurangi ketergantungan impor, serta mendorong pemerataan akses energi termal bagi rumah tangga dan usaha mikro. Artikel ini mengupas secara komprehensif dampak ekonomi penggunaan briket batu bara terhadap ketahanan energi nasional pada 2025, mencakup kontribusinya terhadap penghematan devisa, stabilitas harga energi, pemberdayaan ekonomi lokal, serta posisinya dalam transisi energi yang adil.


Ketahanan Energi Nasional: Definisi dan Tantangan 2025

Ketahanan energi nasional, sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi, adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan energi secara berkelanjutan, aman, dan terjangkau. Pada 2025, tantangan utama meliputi:

  • Ketergantungan impor LPG mencapai 72% dari total konsumsi nasional.
  • Harga energi yang tidak stabil, terutama akibat fluktuasi nilai tukar dan geopolitik Timur Tengah.
  • Kesenjangan akses energi: 8,1% rumah tangga di Indonesia timur masih menggunakan kayu bakar atau minyak tanah.
  • Overproduksi batu bara domestik yang tidak terserap pasar ekspor maupun PLTU.

Dalam konteks ini, briket batu bara hadir sebagai solusi transisional berbasis sumber daya lokal yang menjawab tiga pilar ketahanan energi: ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan relatif.


Dampak Ekonomi Langsung terhadap Ketahanan Energi

1. Pengurangan Impor LPG dan Penghematan Devisa

Salah satu dampak ekonomi paling signifikan dari penggunaan briket adalah pengalihan permintaan dari LPG impor ke energi domestik. Berdasarkan data Kementerian ESDM (Oktober 2025):

  • Konsumsi briket nasional mencapai 8,5 juta ton/tahun, setara dengan 1,1 juta ton LPG.
  • Penghematan impor LPG mencapai USD 780 juta per tahun (dengan asumsi harga LPG USD 710/ton).
  • Angka ini setara dengan 0,8% dari total impor migas—kecil secara nasional, tetapi sangat berarti bagi neraca perdagangan non-migas dan stabilitas rupiah.

Di tingkat rumah tangga, konversi ke briket menghemat pengeluaran energi hingga 40%, terutama di daerah pedesaan di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

2. Stabilisasi Harga Energi Domestik

Berbeda dengan LPG yang harganya mengikuti pasar global, harga briket batu bara relatif stabil karena 100% berbasis pasokan domestik. Pada 2025, harga briket berkisar Rp 2.800–3.500/kg, sementara ekuivalen energi LPG mencapai Rp 6.200/kg.

Stabilitas ini:

  • Mengurangi tekanan inflasi energi (khususnya di sektor pangan dan UMKM).
  • Memberikan kepastian biaya produksi bagi pelaku usaha mikro (pengeringan, pengolahan pangan, kerajinan).
  • Mengurangi beban subsidi energi—pemerintah mengalihkan subsidi dari harga ke teknologi (kompor hemat emisi).

3. Pemanfaatan Sumber Daya Domestik yang Tidak Tergunakan

Indonesia memproduksi 750 juta ton batu bara per tahun, namun 120–150 juta ton di antaranya adalah batu bara berkualitas rendah (kalori < 4.200 kcal/kg) yang sulit dipasarkan. Briket memungkinkan pemanfaatan batu bara jenis ini—termasuk limbah coal fines dari tambang—menjadi produk bernilai tambah.

Dampak ekonominya:

  • Meningkatkan nilai tambah mineral sebelum ekspor atau konsumsi.
  • Mengurangi limbah tambang yang berpotensi mencemari lingkungan.
  • Membuka pasar baru bagi perusahaan batu bara skala menengah dan kecil.

Dampak Ekonomi Tidak Langsung: Pemberdayaan dan Pemerataan

1. Penciptaan Lapangan Kerja Lokal

Industri briket bersifat padat karya dan terdesentralisasi. Hingga 2025, terdapat lebih dari 1.300 unit usaha briket di 27 provinsi, menyerap 24.000 tenaga kerja langsung dan 35.000 tenaga kerja tidak langsung (logistik, distribusi, peralatan).

Yang menarik, 65% pelaku usaha briket adalah perempuan dan pemuda desa, menjadikannya instrumen pemberdayaan ekonomi inklusif.

2. Penguatan Ekonomi Perdesaan

Di daerah seperti Tabalong (Kalsel), Ogan Komering Ulu (Sumsel), dan Berau (Kaltim), briket menjadi penggerak ekonomi desa melalui:

  • Program “Satu Desa Satu Pabrik Briket” yang didanai dana desa.
  • Integrasi dengan agroindustri lokal: briket digunakan untuk mengeringkan kopi, cengkeh, ikan asin, dan kerupuk.
  • Peningkatan nilai tambah komoditas pertanian hingga 25–30% karena proses pengeringan lebih cepat dan higienis.

3. Diversifikasi Ekspor Energi

Meski fokus utama adalah pasar domestik, Indonesia mulai mengekspor briket ke negara berkembang yang menghadapi masalah serupa: Filipina, Bangladesh, Vietnam, dan Nigeria. Nilai ekspor briket mencapai USD 215 juta pada 2025, menunjukkan potensi sebagai komoditas energi bernilai tambah.


Integrasi dengan Strategi Ketahanan Energi Nasional

Pemerintah tidak memposisikan briket sebagai pengganti energi terbarukan, tetapi sebagai komponen transisional dalam sistem energi campuran. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Revisi 2024, briket disebut sebagai:

“Energi pendukung untuk ketahanan energi termal di daerah tertinggal, selama memenuhi standar emisi dan tidak menghambat pengembangan EBT.”

Langkah integratif meliputi:

  • Program Desa Energi Terpadu: Briket digunakan sebagai cadangan saat panel surya atau biogas tidak mencukupi.
  • Substitusi minyak tanah: Di 1.200 desa yang belum terjangkau LPG, briket menjadi alternatif utama.
  • Kemitraan dengan PLN: Uji coba co-firing briket di PLTU skala kecil (< 50 MW) untuk efisiensi bahan bakar.

Tantangan dan Mitigasi Lingkungan

Meski manfaat ekonominya nyata, penggunaan briket tetap menghadapi kritik lingkungan. Untuk menjawabnya, pemerintah menerapkan:

  • SNI 8976:2024 yang mengatur emisi partikulat, kadar abu, dan wajib campur biomassa.
  • Kompor hemat emisi bersubsidi yang menurunkan asap hingga 70%.
  • Pelarangan penggunaan briket di perkotaan tanpa sertifikasi.

Dengan pendekatan ini, emisi CO₂ dari penggunaan briket skala rumah tangga diperkirakan hanya 0,4% dari total emisi sektor energi nasional—jauh lebih kecil dibanding transportasi atau industri.


Penutup: Briket sebagai Pilar Ketahanan Energi Inklusif

Pada 2025, briket batu bara bukan simbol ketergantungan pada fosil, melainkan manifestasi realisme kebijakan energi yang mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi Indonesia yang heterogen. Ia menjawab kebutuhan nyata jutaan rumah tangga dan UMKM yang belum siap—secara infrastruktur maupun finansial—untuk beralih ke energi bersih.

Dari perspektif ekonomi, briket memperkuat ketahanan energi nasional melalui penghematan devisa, stabilitas harga, pemanfaatan sumber daya lokal, dan pemerataan akses energi. Dari perspektif sosial, ia menjadi alat pemberdayaan yang menempatkan desa sebagai poros kedaulatan energi.

Seperti ditegaskan dalam dokumen kebijakan Kementerian ESDM 2025:

“Ketahanan energi yang sejati bukan hanya soal megawatt, tapi soal siapa yang bisa memasak nasi malam ini—dengan aman, murah, dan bermartabat.”

Dengan pendekatan yang bijak, terukur, dan berkelanjutan, briket batu bara akan terus menjadi jembatan energi—menjaga nyala harapan di rumah-rumah yang belum tersentuh sinar matahari buatan, sambil menyiapkan jalan bagi masa depan yang lebih hijau.