Briket Batu Bara sebagai Energi Alternatif: Solusi Ekonomi di Tengah Krisis Energi 2025
Di tengah krisis energi global yang berkepanjangan sejak awal dekade ini—diperparah oleh ketegangan geopolitik, volatilitas harga minyak dan gas, serta transisi energi yang belum merata—Indonesia mencari solusi energi yang andal, terjangkau, dan berbasis sumber daya domestik. Salah satu jawaban yang kembali mendapat perhatian serius pada tahun 2025 adalah briket batu bara.
Meski batu bara kerap dikritik karena emisi karbonnya, bentuk olahannya dalam bentuk briket menawarkan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, emisi lebih rendah, dan fleksibilitas penggunaan—mulai dari rumah tangga, industri kecil-menengah, hingga pembangkit listrik skala mikro. Di tengah tekanan ekonomi dan ketidakpastian pasokan energi, briket batu bara muncul sebagai solusi transisional yang realistis, khususnya bagi masyarakat dan sektor usaha yang belum mampu beralih ke energi terbarukan.
Artikel ini mengupas peran briket batu bara sebagai energi alternatif di Indonesia pada 2025, termasuk teknologi produksinya, manfaat ekonomi, tantangan lingkungan, serta posisinya dalam peta transisi energi nasional.
Apa Itu Briket Batu Bara?
Briket batu bara adalah bentuk padat batu bara yang dipadatkan melalui proses aglomerasi, biasanya dengan penambahan bahan pengikat (binder) seperti pati, tanah liat, atau minyak residu. Proses ini meningkatkan nilai kalor, mengurangi debu, memperpanjang waktu pembakaran, dan menurunkan emisi gas berbahaya dibandingkan batu bara mentah.
Di Indonesia, briket umumnya diproduksi dari batu bara berkualitas rendah (sub-bituminous dan lignit) yang melimpah di Kalimantan dan Sumatera—jenis batu bara yang kurang diminati pasar ekspor, tetapi ideal untuk konversi menjadi briket.
Latar Belakang: Mengapa Briket Kembali Relevan pada 2025?
Beberapa faktor mendorong kebangkitan briket batu bara sebagai energi alternatif di tengah krisis energi 2025:
- Kenaikan harga LPG dan BBM: Harga LPG 3 kg naik hingga Rp 25.000/tabung pada 2025 akibat fluktuasi nilai tukar dan ketergantungan impor. Hal ini membebani rumah tangga berpenghasilan rendah.
- Keterbatasan akses listrik di daerah terpencil: Sekitar 8% populasi Indonesia (terutama di Papua, NTT, dan Maluku) masih mengandalkan kayu bakar atau minyak tanah.
- Overproduksi batu bara domestik: Produksi batu bara Indonesia mencapai 750 juta ton pada 2025, namun permintaan ekspor melambat akibat kebijakan dekarbonisasi negara tujuan (Tiongkok, India, UE).
- Kebutuhan energi industri mikro: UMKM seperti pengolahan pangan, batik, keramik, dan pengeringan hasil pertanian membutuhkan sumber panas murah dan stabil.
Dalam konteks ini, briket batu bara hadir sebagai jembatan energi—solusi jangka pendek yang memanfaatkan sumber daya lokal sambil menyiapkan infrastruktur untuk energi terbarukan jangka panjang.
Manfaat Ekonomi Briket Batu Bara di 2025
1. Penghematan Anggaran Rumah Tangga dan UMKM
Harga briket batu bara berkisar Rp 2.500–3.500/kg, jauh lebih murah dibanding LPG (setara Rp 6.000–7.000/kg energi) atau kayu bakar (yang kini langka dan mahal akibat larangan tebang). Satu briket berukuran 1 kg dapat menyala hingga 3–4 jam, ideal untuk memasak atau mengeringkan komoditas.
Di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, program “Konversi Energi Mandiri” telah mendistribusikan kompor briket hemat emisi ke lebih dari 120.000 rumah tangga, menghemat pengeluaran energi hingga 40%.
2. Pemanfaatan Batu Bara Berkualitas Rendah
Briket memungkinkan pemanfaatan batu bara grade rendah (kalori < 5.000 kcal/kg) yang sebelumnya dianggap “tidak ekonomis”. Dengan teknologi pencampuran dan pengikat modern, nilai kalor briket bisa mencapai 5.500–6.200 kcal/kg—setara batu bara thermal kelas menengah.
Hal ini membuka pasar baru bagi tambang kecil dan menengah, sekaligus mengurangi limbah batu bara (coal fines) yang selama ini menjadi masalah lingkungan.
3. Penciptaan Lapangan Kerja Lokal
Industri briket berskala UMKM tumbuh pesat di daerah penghasil batu bara. Di Kabupaten Tabalong (Kalsel) dan Muara Enim (Sumsel), lebih dari 200 unit usaha briket telah beroperasi, menyerap 5.000+ tenaga kerja lokal, termasuk perempuan dan pemuda desa.
Pemerintah daerah memberikan pelatihan teknis dan akses permodalan melalui dana desa dan KUR (Kredit Usaha Rakyat).
4. Diversifikasi Ekspor Energi
Indonesia mulai mengekspor briket batu bara ke negara berkembang seperti Bangladesh, Filipina, dan Nigeria, yang membutuhkan bahan bakar padat murah untuk industri rumahan. Nilai ekspor briket mencapai USD 180 juta pada 2025, meski masih kecil dibanding batu bara mentah, namun menunjukkan tren pertumbuhan 35% year-on-year.
Inovasi Teknologi dan Upaya Mitigasi Lingkungan
Kritik utama terhadap briket batu bara adalah emisi CO₂, SO₂, dan partikulat. Namun pada 2025, inovasi teknologi telah mengurangi dampak tersebut:
- Briket berbasis campuran (co-briquetting): Dicampur dengan biomassa (sekam padi, cangkang sawit, serbuk gergaji) hingga 30%, menurunkan emisi karbon hingga 25%.
- Kompor hemat emisi: Dirancang oleh LIPI dan ITB, kompor ini menggunakan sistem pembakaran dua tahap (primary & secondary combustion), mengurangi asap hingga 70%.
- Penambahan kapur atau zeolit sebagai adsorben sulfur, menekan emisi SO₂.
- Sertifikasi “Briket Ramah Lingkungan” oleh Kementerian ESDM, yang mensyaratkan kadar abu < 10% dan emisi partikulat di bawah ambang batas WHO.
Kebijakan Pemerintah dan Integrasi dalam Strategi Energi Nasional
Pemerintah Indonesia tidak menjadikan briket sebagai solusi jangka panjang, tetapi sebagai bagian dari strategi transisi energi inklusif. Dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) Revisi 2024, briket disebut sebagai:
“Energi transisional untuk daerah tertinggal dan sektor informal, selama memenuhi standar emisi dan tidak menghambat pengembangan EBT.”
Langkah kebijakan utama pada 2025:
- Subsidi teknologi, bukan harga: Pemerintah memberikan hibah kompor hemat emisi, bukan subsidi briket.
- Pelarangan briket tanpa sertifikasi: Berlaku sejak Juli 2025 di seluruh wilayah perkotaan.
- Integrasi dengan program Desa Energi: Briket digunakan sebagai cadangan saat panel surya atau mikrohidro tidak mencukupi.
Tantangan dan Kritik
Meski manfaat ekonominya nyata, briket batu bara tetap menghadapi tantangan:
- Persepsi negatif sebagai “energi kotor” yang bertentangan dengan komitmen NZE 2060.
- Regulasi ketat di negara maju, yang menolak impor produk berbasis batu bara.
- Persaingan dengan energi terbarukan yang semakin murah (panel surya, biogas).
- Risiko kesehatan jika digunakan tanpa ventilasi atau kompor standar.
Oleh karena itu, pemerintah menekankan bahwa briket bukan pengganti energi bersih, tapi pelengkap dalam konteks ketimpangan akses energi.
Penutup: Briket sebagai Jembatan, Bukan Tujuan Akhir
Pada 2025, briket batu bara bukanlah simbol kemunduran dalam transisi energi, melainkan bentuk realisme kebijakan di tengah kompleksitas sosial-ekonomi Indonesia. Ia menjadi penyangga bagi jutaan rumah tangga dan UMKM yang belum siap—secara finansial maupun infrastruktur—untuk beralih ke energi bersih.
Dengan pendekatan yang bijak—berbasis teknologi bersih, regulasi ketat, dan pemberdayaan lokal—briket batu bara dapat memainkan peran transisional yang bertanggung jawab: menjaga stabilitas ekonomi hari ini, sambil membangun fondasi energi berkelanjutan untuk masa depan.

