18, Okt 2025
Tren Permintaan Pasar Internasional: Peluang Ekspor Seafood Beku 2025

Tahun 2025 menjadi periode penuh paradoks bagi perdagangan global. Di satu sisi, dunia menghadapi ketidakpastian ekonomi yang mendalam—ditandai oleh perlambatan pertumbuhan, inflasi yang masih menghantui, ketegangan geopolitik, dan fragmentasi rantai pasok. Di sisi lain, permintaan terhadap produk pangan bernilai gizi tinggi, berkelanjutan, dan bersertifikat halal justru menunjukkan ketahanan, bahkan tumbuh di tengah resesi.

Dalam konteks ini, seafood beku Indonesia—yang mencakup udang, cumi, tuna, kepiting, dan ikan fillet—berada di persimpangan strategis. Meski menghadapi tekanan dari penurunan konsumsi di beberapa pasar tradisional, sektor ini juga membuka peluang besar di segmen-segmen baru yang sedang berkembang pesat. Artikel ini menganalisis tren permintaan pasar internasional tahun 2025, mengidentifikasi pergeseran preferensi konsumen global, serta merumuskan peluang nyata bagi Indonesia untuk memperluas ekspor seafood beku di tengah badai ketidakpastian ekonomi.


Lanskap Ekonomi Global 2025: Ketidakpastian yang Mengubah Pola Konsumsi

Menurut proyeksi International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi global pada 2025 hanya mencapai 2,6%, dengan pola yang tidak merata:

  • Amerika Serikat dan Uni Eropa: Mengalami perlambatan konsumsi rumah tangga akibat suku bunga tinggi dan inflasi persisten.
  • Tiongkok: Terjebak dalam deflasi dan krisis properti, sehingga permintaan impor barang non-esensial melemah.
  • Negara berkembang (India, ASEAN, Afrika, Timur Tengah): Menunjukkan ketahanan ekonomi yang lebih baik, dengan pertumbuhan konsumsi tetap positif.

Namun, di balik perlambatan tersebut, terjadi pergeseran struktural dalam preferensi konsumen global:

  1. Protein sehat dan berkelanjutan semakin diminati, terutama di kalangan kelas menengah perkotaan.
  2. Produk bersertifikasi halal, organik, dan ramah lingkungan menjadi pilihan utama, bukan lagi sekadar premium.
  3. Kemudahan akses melalui e-commerce mendorong konsumsi seafood beku siap saji di rumah tangga.
  4. Transparansi asal-usul produk (traceability) menjadi syarat wajib, bukan pilihan.

Tren ini membuka celah strategis bagi Indonesia—negara dengan keunggulan alam, sertifikasi halal global, dan komitmen terhadap blue economy.


Perubahan Permintaan di Pasar Utama

1. Amerika Serikat: Fokus pada Kesehatan dan Keberlanjutan

Meski pertumbuhan ekonomi melambat, permintaan terhadap udang dan tuna beku berkualitas tinggi tetap stabil, terutama untuk:

  • Ritel modern (Walmart, Costco, Whole Foods) yang menawarkan produk bersertifikat MSC (Marine Stewardship Council) atau ASC (Aquaculture Stewardship Council).
  • Restoran cepat saji premium yang mengadopsi menu berbasis protein laut rendah karbon.

Peluang: Indonesia dapat memperluas ekspor udang vaname organik dan tuna sushi-grade dengan sertifikasi keberlanjutan.

2. Uni Eropa: Regulasi Hijau sebagai Pintu Masuk

UE menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan aturan ketat terhadap IUU fishing (Illegal, Unreported, Unregulated). Namun, bagi negara yang memenuhi standar, pasar UE justru menawarkan premium price.

Peluang:

  • Ekspor seafood beku bersertifikat MSC/ASC dengan jejak karbon rendah.
  • Produk ready-to-cook berbasis ikan fillet untuk konsumen urban yang sibuk.

3. Jepang dan Korea Selatan: Kualitas dan Konsistensi

Kedua negara tetap menjadi pasar premium yang menghargai konsistensi kualitas, keamanan pangan, dan kesegaran. Permintaan terhadap cumi, gurita, dan kepiting beku tetap tinggi untuk industri kuliner dan hotel.

Peluang: Penguatan kerja sama teknis untuk memenuhi standar residu antibiotik nol dan cold chain tanpa putus.

4. Tiongkok: Pemulihan Bertahap di Segmen Menengah-Atas

Meski secara agregat impor seafood Tiongkok turun, kelas menengah perkotaan di Shanghai, Guangzhou, dan Chengdu mulai kembali mengonsumsi seafood mewah, terutama yang halal dan aman.

Peluang: Ekspor udang dan kepiting beku bersertifikat halal melalui platform e-commerce seperti Tmall dan JD.com.

5. Pasar Non-Tradisional: Masa Depan Ekspor Seafood

  • Timur Tengah (UAE, Arab Saudi, Qatar): Permintaan seafood halal meningkat pesat, terutama selama Ramadan dan musim haji.
  • India: Kelas menengah urban mulai mengonsumsi protein laut sebagai alternatif daging.
  • Afrika Selatan dan Nigeria: Permintaan akan protein berkualitas untuk ketahanan pangan nasional.

Peluang utama: Memanfaatkan Indonesia–UAE CEPA (berlaku sejak pertengahan 2025) untuk akses bebas tarif.


Peluang Strategis bagi Indonesia pada 2025

1. Keunggulan Sebagai Produsen Seafood Halal Terbesar Dunia

Indonesia adalah satu-satunya negara dengan sertifikasi halal nasional yang diakui global (BPJPH). Di tengah meningkatnya populasi Muslim global (1,9 miliar jiwa), seafood beku halal menjadi komoditas strategis.

Proyeksi: Pasar global seafood halal diprediksi mencapai USD 22 miliar pada 2026 (World Halal Institute, 2025).

2. Komitmen terhadap Blue Economy dan Keberlanjutan

Indonesia telah melarang cantrang, memperkuat pengawasan IUU fishing, dan mendorong budidaya berkelanjutan. Ini selaras dengan tuntutan pasar Eropa dan AS.

Contoh sukses: Ekspor udang beku dari tambak bioflok di Jawa Timur ke Jerman meningkat 27% YoY pada 2025 karena sertifikasi ASC.

3. Transformasi Digital dan Ekspor Berbasis Platform

Platform e-commerce global seperti Alibaba Seafood, Amazon Fresh, dan Lazada Global memungkinkan UMKM perikanan menjangkau konsumen akhir tanpa perantara.

Data: Ekspor seafood beku melalui saluran digital tumbuh 34% pada 2025, meski ekspor tradisional turun.

4. Hilirisasi dan Peningkatan Nilai Tambah

Alih-alih mengekspor udang mentah beku, Indonesia kini mengembangkan:

  • Udang breaded siap goreng
  • Sushi-grade tuna fillet
  • Seafood ready-to-cook dengan bumbu khas Nusantara

Produk bernilai tambah ini memiliki margin 2–3 kali lipat dibanding komoditas mentah.


Strategi Nasional untuk Memanfaatkan Peluang

Untuk mengoptimalkan peluang ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis:

  1. Percepatan Sertifikasi Internasional
    • Subsidi 50% biaya sertifikasi MSC/ASC bagi UMKM.
    • Integrasi Sistem Informasi Ketertelusuran Hasil Perikanan (SIKHP) dengan standar global.
  2. Diversifikasi Pasar melalui Perjanjian Dagang
    • Manfaatkan Indonesia–UAE CEPA, RCEP, dan IEU-CEPA untuk akses pasar non-tradisional.
  3. Penguatan Ekosistem Ekspor Digital
    • Pelatihan 15.000 UMKM perikanan dalam ekspor online pada 2025.
    • Kerja sama dengan platform global untuk logistik terpadu dan cold chain.
  4. Insentif untuk Produk Bernilai Tambah
    • Tax allowance 30% untuk investasi pengolahan seafood siap saji.
    • Bebas bea masuk sementara untuk mesin pengolahan modern.

Tantangan yang Perlu Diwaspadai

Meski peluang besar terbuka, Indonesia harus waspada terhadap:

  • Persaingan ketat dari Vietnam dan India yang lebih agresif dalam efisiensi logistik.
  • Kurangnya infrastruktur cold chain di daerah penghasil.
  • Ketergantungan pada pakan impor, yang membuat biaya produksi rentan terhadap fluktuasi kurs.
  • Minimnya SDM terampil dalam manajemen ekspor digital dan sertifikasi internasional.

Kesimpulan

Ketidakpastian ekonomi global tahun 2025 bukan akhir bagi ekspor seafood beku Indonesia—melainkan panggilan untuk bertransformasi. Di tengah perlambatan, muncul tren baru yang justru menguntungkan: konsumen global kini lebih cerdas, peduli pada keberlanjutan, kesehatan, dan nilai etika di balik setiap produk yang mereka beli.

Indonesia, dengan kekayaan laut, komitmen terhadap perikanan berkelanjutan, dan status sebagai pemimpin ekonomi halal dunia, memiliki posisi unik untuk memanfaatkan tren ini. Namun, keberhasilan hanya mungkin terwujud jika sektor perikanan nasional bergerak dari ekspor komoditas mentah menuju ekspor nilai tambah, kepercayaan, dan identitas.

Dengan strategi yang tepat, kolaborasi multisektor, dan penguatan kapasitas pelaku usaha, seafood beku Indonesia tidak hanya bisa bertahan di tengah badai—tapi juga menjadi duta biru (blue ambassador) dari Indonesia di pasar global.

Tinggalkan Balasan