18, Okt 2025
Industri Perikanan di Tengah Fluktuasi Ekonomi: Analisis Ekspor Seafood Beku 2025

Industri perikanan Indonesia, yang selama ini menjadi salah satu pilar penting ekspor non-migas, kini menghadapi ujian berat di tengah fluktuasi ekonomi global tahun 2025. Perlambatan pertumbuhan dunia, volatilitas nilai tukar, inflasi yang masih menghantui, serta perubahan preferensi konsumen global telah menciptakan tekanan ganda terhadap kinerja ekspor seafood beku—komoditas unggulan yang mencakup udang, cumi, tuna, kepiting, dan ikan fillet.

Meski Indonesia memiliki keunggulan geografis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi perikanan tangkap dan budidaya yang melimpah, sektor ini rentan terhadap guncangan eksternal. Artikel ini menganalisis secara mendalam tantangan yang dihadapi industri perikanan nasional pada 2025, khususnya dalam konteks ekspor seafood beku, serta mengevaluasi respons kebijakan dan strategi adaptasi yang ditempuh untuk menjaga ketahanan sektor ini di tengah ketidakpastian ekonomi global.


Profil Industri Perikanan dan Ekspor Seafood Beku 2025

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga kuartal III 2025:

  • Total produksi perikanan nasional: 28,7 juta ton (naik 2,3% YoY), terdiri dari 62% perikanan budidaya dan 38% perikanan tangkap.
  • Ekspor seafood beku: USD 3,82 miliar, mengalami penurunan 8,4% dibanding periode yang sama tahun 2024.
  • Kontribusi terhadap ekspor non-migas: sekitar 4,1%.
  • Pasar utama: Amerika Serikat (32%), Jepang (18%), Tiongkok (15%), Uni Eropa (12%), dan Korea Selatan (7%).
  • Produk dominan: udang beku (45%), cumi/sotong (20%), tuna beku (15%), kepiting (8%), dan ikan fillet (7%).

Penurunan kinerja ekspor ini mencerminkan kerentanan struktural industri perikanan terhadap dinamika ekonomi makro dan perubahan regulasi perdagangan internasional.


Tantangan Utama yang Dihadapi pada 2025

1. Perlambatan Ekonomi Global dan Penurunan Permintaan

Negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan konsumsi akibat inflasi tinggi dan kebijakan moneter ketat:

  • Amerika Serikat: Konsumen beralih ke protein murah seperti ayam dan telur. Ekspor udang beku ke AS turun 11,2% YoY.
  • Uni Eropa: Resesi ringan di Jerman dan Prancis menekan permintaan restoran—salah satu konsumen utama seafood premium.
  • Tiongkok: Deflasi dan krisis properti mengurangi pengeluaran makan di luar rumah, menyebabkan impor seafood Indonesia turun 14,3%.

2. Fluktuasi Nilai Tukar dan Biaya Produksi

Rupiah rata-rata melemah ke level Rp16.300/USD pada 2025. Meski secara teori melemahnya rupiah seharusnya meningkatkan daya saing ekspor, kenyataannya justru memperberat biaya produksi karena:

  • 70% pakan udang masih diimpor (dari Tiongkok, Thailand, dan AS).
  • Mesin pendingin, generator, dan bahan kemasan juga bergantung pada impor.
  • Kenaikan biaya logistik internasional akibat gangguan rantai pasok global.

Akibatnya, margin keuntungan eksportir menyusut, terutama pelaku usaha skala kecil dan menengah.

3. Regulasi Impor yang Semakin Ketat

Negara maju menerapkan standar ketat terkait keberlanjutan dan keamanan pangan:

  • Uni Eropa: Mewajibkan sertifikat IUU Fishing Compliance dan sistem traceability dari kapal ke konsumen.
  • Amerika Serikat: Memperluas cakupan Seafood Import Monitoring Program (SIMP).
  • Jepang dan Korea Selatan: Meningkatkan batas maksimal residu antibiotik dan logam berat.

Banyak eksportir Indonesia, terutama UMKM, kesulitan memenuhi persyaratan ini karena keterbatasan teknologi, biaya sertifikasi tinggi, dan kurangnya pendampingan.

4. Persaingan Global yang Semakin Ketat

Negara pesaing seperti Vietnam, India, Ekuador, dan Thailand lebih agresif dalam:

  • Memberikan insentif ekspor dan pembiayaan murah.
  • Mengadopsi teknologi budidaya intensif (misalnya tambak udang bioflok).
  • Mempercepat proses sertifikasi keberlanjutan.

Contohnya, Vietnam kini menjadi pemasok utama udang ke AS, menggeser posisi Indonesia berkat harga yang 10–15% lebih kompetitif.

5. Infrastruktur dan Rantai Pasok yang Belum Optimal

  • Cold chain (rantai dingin) di daerah penghasil masih terbatas, menyebabkan losses pasca panen hingga 15–20%.
  • Pelabuhan perikanan belum terintegrasi dengan sistem logistik nasional, memperlambat waktu ekspor.
  • Minimnya akses UMKM ke platform ekspor digital dan layanan lindung nilai (hedging) terhadap fluktuasi kurs.

Dampak terhadap Ekosistem Perikanan Nasional

Penurunan ekspor seafood beku berdampak luas:

  • Nelayan dan pembudidaya: Harga jual udang di tingkat hulu turun hingga 20%, mengurangi pendapatan rumah tangga nelayan.
  • Industri pengolahan: Beberapa pabrik di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara mengurangi jam kerja atau melakukan PHK.
  • Tenaga kerja: Sektor perikanan menyerap sekitar 12 juta tenaga kerja; perlambatan ekspor berpotensi memicu pengangguran terselubung di daerah pesisir.

Menurut Asosiasi Pengolah dan Pemasar Hasil Perikanan Indonesia (AP5I), 30% anggotanya mengalami penurunan omzet lebih dari 20% pada 2025.


Respons Kebijakan dan Strategi Adaptasi

Untuk menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dan pelaku usaha mengambil langkah-langkah strategis:

1. Penguatan Tata Kelola dan Keberlanjutan

  • KKP memperkuat Sistem Informasi Ketertelusuran Hasil Perikanan (SIKHP) berbasis blockchain untuk memenuhi standar global.
  • Program Perikanan Berkelanjutan Bersertifikat didorong melalui subsidi sertifikasi MSC dan ASC.

2. Diversifikasi Pasar Ekspor

  • Memanfaatkan Indonesia–UAE CEPA untuk ekspor seafood halal ke Timur Tengah.
  • Membuka akses ke pasar Afrika Selatan, Meksiko, dan Brasil melalui misi dagang dan pameran internasional.

3. Peningkatan Nilai Tambah

  • Mengembangkan produk siap saji seperti udang breaded, sushi-grade tuna, dan seafood ready-to-cook.
  • Memperkuat branding “Indonesian Sustainable & Halal Seafood” sebagai nilai jual unik.

4. Insentif dan Akses Pembiayaan

  • Kementerian Keuangan mempercepat pengembalian PPN ekspor dan memberikan bea masuk sementara gratis untuk mesin pengolahan modern.
  • LPDB-KUMKM dan Bank Indonesia menyediakan kredit lunak bagi pembudidaya dan pengolah skala kecil.

5. Digitalisasi dan Ekspor Berbasis Platform

  • KKP bekerja sama dengan Alibaba Seafood, Amazon Fresh, dan Tokopedia Global untuk memasarkan produk langsung ke konsumen.
  • Pelatihan ekspor digital bagi 10.000 UMKM perikanan pada 2025.

Proyeksi dan Rekomendasi Strategis

Jika tren saat ini berlanjut, ekspor seafood beku Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 0–1% pada akhir 2025, jauh di bawah target awal. Namun, peluang tetap terbuka melalui:

  1. Ekspor seafood berkelanjutan bersertifikat ke pasar Eropa dan AS.
  2. Produk halal seafood untuk konsumen Muslim global.
  3. Kemitraan jangka panjang dengan retail global (Walmart, Costco, AEON).

Untuk itu, diperlukan:

  • Investasi dalam infrastruktur cold chain dan pelabuhan perikanan modern.
  • Peningkatan anggaran R&D untuk inovasi pakan lokal dan teknologi budidaya ramah lingkungan.
  • Penguatan kelembagaan nelayan dan koperasi perikanan agar mampu berdaya saing global.

Kesimpulan

Fluktuasi ekonomi global tahun 2025 telah menguji ketahanan industri perikanan Indonesia. Tantangan yang dihadapi—mulai dari penurunan permintaan, persaingan ketat, hingga regulasi ketat—mengungkap kerentanan struktural yang selama ini tersembunyi di balik volume produksi yang besar. Namun, krisis juga membuka jalan bagi transformasi.

Masa depan ekspor seafood beku Indonesia tidak lagi ditentukan oleh seberapa banyak yang bisa ditangkap atau dibudidayakan, tetapi oleh seberapa berkelanjutan, bernilai tambah, dan adaptif sektor ini terhadap tuntutan pasar global. Dengan kebijakan yang tepat, kolaborasi multisektor, dan komitmen terhadap inovasi, industri perikanan Indonesia tidak hanya bisa bertahan—tapi juga menjadi pelopor ekspor biru (blue economy) yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara.

Tinggalkan Balasan