18, Okt 2025
Dinamika Ekonomi Global tahun 2025 di Indonesia

Tahun 2025 menjadi titik krusial dalam peta ekonomi global. Setelah masa pemulihan pasca-pandemi yang penuh gejolak, dunia kini memasuki fase baru yang ditandai oleh perlambatan pertumbuhan, ketegangan geopolitik yang berkepanjangan, kebijakan moneter ketat, serta transformasi struktural dalam rantai pasok global. Menurut proyeksi terbaru International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 2,6% pada 2025—angka terendah dalam lima tahun terakhir di luar masa krisis.

Dalam konteks tersebut, Indonesia—sebagai negara dengan keterbukaan ekonomi tinggi dan ketergantungan signifikan pada perdagangan internasional—menghadapi tantangan ganda: melemahnya permintaan ekspor dan ketidakseimbangan dalam pola impor, khususnya pada kategori barang jadi. Artikel ini mengupas secara komprehensif dinamika ekonomi global 2025 dan dampaknya terhadap kinerja ekspor–impor barang jadi Indonesia, serta merumuskan strategi ke depan untuk memperkuat ketahanan perdagangan nasional.


Sekilas Dinamika Ekonomi Global 2025

Beberapa faktor utama yang membentuk lanskap ekonomi global pada 2025 antara lain:

  1. Perlambatan Ekonomi Negara Maju:
    Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami perlambatan konsumsi akibat inflasi yang masih di atas target dan suku bunga acuan yang tetap tinggi. Pertumbuhan AS diperkirakan hanya 1,2%, sementara zona euro stagnan di 0,7%.
  2. Ketidakpastian di Tiongkok:
    Perekonomian Tiongkok—mitra dagang terbesar Indonesia—tertekan oleh krisis properti berkepanjangan, deflasi, dan perlambatan investasi. Pertumbuhan Tiongkok diproyeksikan 4,3%, jauh di bawah potensi jangka panjangnya.
  3. Geopolitik dan Fragmentasi Perdagangan:
    Konflik Rusia–Ukraina yang berlarut-larut, ketegangan AS–Tiongkok, serta kebijakan “de-risking” telah memicu fragmentasi rantai pasok global. Negara-negara kini lebih memilih mitra dagang berdasarkan pertimbangan keamanan nasional, bukan hanya efisiensi ekonomi.
  4. Transisi Energi dan Regulasi Hijau:
    Regulasi seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa mulai diterapkan secara penuh pada 2025, memberikan tekanan tambahan pada ekspor manufaktur dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Profil Perdagangan Barang Jadi Indonesia

Barang jadi (manufactured goods) mencakup produk yang telah melalui proses manufaktur dan siap dikonsumsi atau digunakan, seperti:

  • Tekstil dan pakaian jadi
  • Alas kaki dan produk kulit
  • Furnitur dan kerajinan kayu
  • Elektronik konsumen dan komponen
  • Makanan dan minuman olahan
  • Produk kimia dan farmasi

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2025:

  • Total ekspor barang jadi: USD 112,8 miliar (turun 3,5% YoY)
  • Total impor barang jadi: USD 110,2 miliar (naik 2,1% YoY)
  • Neraca perdagangan barang jadi: Surplus USD 2,6 miliar, turun drastis dibanding USD 9,4 miliar pada periode yang sama tahun 2024.

Fenomena ini menunjukkan penurunan daya saing ekspor sekaligus peningkatan ketergantungan impor terhadap barang konsumsi dan input industri.


Dampak Dinamika Global terhadap Ekspor Barang Jadi

1. Penurunan Permintaan di Pasar Tradisional

  • Amerika Serikat: Permintaan terhadap pakaian jadi dan alas kaki menurun karena konsumen beralih ke barang esensial. Ekspor TPT ke AS turun 14,2% YoY.
  • Uni Eropa: Selain perlambatan ekonomi, regulasi lingkungan mempersulit ekspor furnitur berbasis kayu tropis. Ekspor furnitur ke UE turun 12,5%.
  • Tiongkok: Permintaan impor barang jadi Indonesia melemah seiring dengan perlambatan sektor ritel dan manufaktur di Tiongkok.

2. Persaingan Ketat dari Negara Berkembang Lain

Vietnam, Bangladesh, dan India lebih agresif dalam menawarkan insentif investasi dan efisiensi logistik. Vietnam, misalnya, kini menjadi pemasok utama TPT ke AS, menggeser posisi Indonesia.

3. Hambatan Non-Tarif dan Regulasi Hijau

Penerapan CBAM dan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) oleh negara maju mempersulit akses pasar bagi produk manufaktur Indonesia yang belum memenuhi kriteria keberlanjutan.


Dampak terhadap Impor Barang Jadi

Di sisi impor, meski pertumbuhan ekonomi domestik melambat (5,02% pada kuartal III 2025), impor barang jadi tetap meningkat karena:

  1. Ketergantungan pada Input Industri:
    Industri elektronik dan otomotif dalam negeri masih mengandalkan impor komponen dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
  2. Preferensi Konsumen terhadap Produk Impor:
    Barang elektronik, kosmetik, dan makanan olahan impor tetap diminati karena dianggap berkualitas tinggi.
  3. Pelemahan Rupiah:
    Nilai tukar rupiah rata-rata pada 2025 berada di kisaran Rp16.250/USD, membuat impor lebih mahal namun tetap tidak terhindarkan karena keterbatasan substitusi lokal.

Respons Kebijakan Pemerintah Indonesia

Menghadapi tekanan eksternal, pemerintah Indonesia mengambil sejumlah langkah strategis:

1. Percepatan Hilirisasi dan Substitusi Impor

  • Larangan ekspor bahan mentah (nikel, bauksit, tembaga) diperluas untuk mendorong investasi di sektor hilir.
  • Program Substitusi Impor 35% pada 2025 difokuskan pada sektor farmasi, elektronik, dan alat kesehatan.

2. Diversifikasi Pasar Ekspor

  • Pemanfaatan Indonesia–EU CEPA yang berlaku penuh sejak Januari 2025.
  • Penjajakan kerja sama perdagangan dengan negara-negara Afrika (Nigeria, Afrika Selatan) dan Amerika Latin (Meksiko, Chili).

3. Penguatan Ekosistem Ekspor Digital

  • Platform Indonesia Export Marketplace (IEM) diluncurkan untuk memfasilitasi UMKM masuk ke pasar global melalui e-commerce lintas batas (Alibaba, Amazon, Lazada Global).

4. Insentif Fiskal dan Reformasi Regulasi

  • Pemberian tax allowance dan import duty exemption bagi industri manufaktur berorientasi ekspor.
  • Penyederhanaan perizinan ekspor melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW).

Tantangan dan Proyeksi ke Depan

Meski upaya pemerintah cukup proaktif, beberapa tantangan struktural tetap menghambat:

  • Kualitas SDM industri yang belum memadai untuk sektor berteknologi tinggi.
  • Infrastruktur logistik yang belum merata, terutama di luar Jawa.
  • Keterbatasan R&D dan inovasi produk dalam negeri.

Jika tren saat ini berlanjut, neraca perdagangan barang jadi berisiko defisit pada akhir 2025, terutama jika permintaan global terus melemah dan impor tidak bisa dikendalikan.

Namun, peluang tetap terbuka melalui:

  • Ekspor kendaraan listrik dan baterai berbasis nikel.
  • Produk kreatif dan fesyen berbasis budaya lokal.
  • Makanan halal dan olahan berbasis kelapa sawit terbarukan.

Kesimpulan

Dinamika ekonomi global 2025 telah menciptakan lingkungan perdagangan yang penuh tantangan bagi Indonesia. Kinerja ekspor–impor barang jadi mencerminkan kerentanan struktural ekonomi nasional terhadap guncangan eksternal. Namun, di balik tekanan tersebut terdapat momentum untuk mentransformasi struktur perdagangan dari ketergantungan pada tenaga kerja murah menuju ekspor berbasis nilai tambah, inovasi, dan keberlanjutan.

Keberhasilan Indonesia dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan barang jadi tidak hanya bergantung pada respons jangka pendek, tetapi pada komitmen jangka panjang untuk membangun industri manufaktur yang kompetitif, berdaya saing global, dan tangguh menghadapi ketidakpastian dunia.

Tinggalkan Balasan