Dampak Fluktuasi Ekonomi 2025 terhadap Harga dan Konsumsi Barang Elektronik di Indonesia
Tahun 2025 menjadi tahun penuh dinamika bagi perekonomian Indonesia. Di tengah pemulihan pasca-pandemi, tekanan geopolitik global, dan transisi energi, fluktuasi ekonomi—mulai dari inflasi, nilai tukar rupiah, hingga ketidakpastian suku bunga—telah memberikan dampak signifikan terhadap sektor konsumsi, khususnya barang elektronik.
Barang elektronik, yang mencakup smartphone, laptop, televisi, perangkat rumah tangga pintar, hingga komponen otomotif berbasis elektronik, merupakan salah satu kategori konsumsi non-pangan paling sensitif terhadap perubahan kondisi makroekonomi. Artikel ini mengupas secara komprehensif bagaimana fluktuasi ekonomi di 2025 memengaruhi harga, permintaan, pola belanja, dan strategi industri elektronik di Indonesia.
Kondisi Ekonomi Makro 2025: Latar Belakang Fluktuasi
Sejumlah faktor eksternal dan internal membentuk lanskap ekonomi Indonesia pada 2025:
- Inflasi yang Terkendali namun Persisten:
Inflasi tahun berjalan (year-to-date) hingga September 2025 mencapai 3,4% (BPS), sedikit di atas target BI (2–4%), terutama didorong oleh kenaikan harga energi dan komponen impor. - Nilai Tukar Rupiah yang Berfluktuasi:
Rupiah berada di kisaran Rp15.600–15.900 per USD, tertekan oleh kenaikan suku bunga The Fed dan ketidakpastian pasar global. - Suku Bunga Acuan BI Stabil di 5,75%:
Kebijakan moneter ketat bertahan sepanjang 2025 untuk menjaga stabilitas inflasi dan aliran modal asing. - Pertumbuhan Ekonomi Moderat:
PDB tumbuh 5,1% (Q2 2025), didukung konsumsi rumah tangga, namun investasi swasta masih lesu.
Kondisi ini menciptakan tekanan biaya bagi produsen elektronik dan perubahan perilaku konsumen yang cermat dalam berbelanja.
Dampak terhadap Harga Barang Elektronik
1. Kenaikan Harga Akibat Impor dan Biaya Logistik
Sebagian besar komponen elektronik—seperti chip semikonduktor, layar LCD/OLED, baterai lithium, dan sensor—masih diimpor dari Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Melemahnya rupiah dan kenaikan biaya logistik global menyebabkan:
- Kenaikan harga rata-rata 8–12% untuk smartphone menengah-atas (Q1–Q3 2025).
- Kenaikan 10–15% untuk laptop dan perangkat komputasi.
- TV pintar dan perangkat rumah tangga naik 6–9%, terutama merek premium.
Contoh: Harga smartphone flagship yang sebelumnya Rp12 juta kini mencapai Rp13,2–13,8 juta.
2. Disparitas Harga antara Merek Global dan Lokal
Merek global (Samsung, Apple, Xiaomi) lebih terpukul karena ketergantungan tinggi pada rantai pasok global. Sementara itu, merek lokal seperti Polytron, Evercoss, Advan, dan Mito mampu menahan kenaikan harga berkat:
- Komponen lokal yang lebih tinggi (meski terbatas)
- Strategi pemasaran berbasis nilai (value-for-money)
- Kolaborasi dengan pemerintah dalam program TKDN
Akibatnya, selisih harga antara merek global dan lokal melebar, menciptakan segmen pasar yang lebih terpolarisasi.
3. Harga Barang Elektronik Bekas (Refurbished) Naik
Di tengah tekanan daya beli, permintaan terhadap barang elektronik bekas berkualitas (refurbished) meningkat tajam. Harga iPhone bekas atau laptop gaming second naik 15–20% karena kelangkaan stok dan tingginya permintaan.
Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat
1. Perpindahan ke Segmen Entry-Level dan Menengah
Konsumen semakin rasional dan selektif:
- Penjualan smartphone harga Rp1–3 juta naik 22% YoY (IDC Indonesia, Agustus 2025).
- Permintaan laptop di bawah Rp6 juta meningkat, terutama untuk kebutuhan belajar dan kerja hybrid.
- Konsumen menunda pembelian perangkat premium, kecuali untuk kebutuhan produktivitas kritis.
2. Peningkatan Belanja melalui Platform Digital
E-commerce menjadi saluran utama pembelian elektronik:
- 72% konsumen membandingkan harga di Tokopedia, Shopee, dan Lazada sebelum membeli (Survei Jakpat, 2025).
- Flash sale dan cicilan 0% menjadi pendorong utama konversi.
- Penjualan elektronik online tumbuh 18% YoY, sementara ritel fisik hanya tumbuh 3%.
3. Prioritas pada Multifungsi dan Daya Tahan
Konsumen kini mencari perangkat yang:
- Tahan lama (baterai awet, bodi kuat)
- Multiguna (laptop bisa untuk kerja dan gaming ringan)
- Hemat energi (penting di tengah kenaikan tarif listrik)
Fitur “smart” seperti IoT dan asisten suara menjadi kurang diprioritaskan dibanding keandalan dan harga.
4. Penundaan Pembelian dan Perbaikan Lebih Lama
Alih-alih mengganti perangkat setiap 1–2 tahun, banyak konsumen kini:
- Memperbaiki ponsel/laptop yang rusak
- Menggunakan casing pelindung dan aksesori untuk memperpanjang usia
- Memanfaatkan layanan garansi perpanjangan
Ini mengurangi frekuensi pembelian, tetapi meningkatkan permintaan jasa servis elektronik.
Dampak terhadap Industri dan Rantai Pasok
1. Tekanan Margin bagi Produsen dan Retailer
Produsen enggan menaikkan harga secara penuh karena takut kehilangan pasar. Akibatnya, margin keuntungan menyusut 2–4 poin persentase, terutama untuk merek menengah.
Retailer besar seperti Erafone, Electronic Solution, dan outlet online juga mengalami penurunan laba, memaksa mereka:
- Mengurangi stok
- Fokus pada produk dengan turnover cepat
- Menawarkan bundling (misal: HP + earphone gratis)
2. Akselerasi Lokalisasi Komponen (TKDN)
Pemerintah memperkuat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk elektronik:
- Smartphone dengan TKDN ≥35% mendapat insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP).
- Investasi pabrik perakitan lokal meningkat, seperti pabrik Oppo di Batam dan Vivo di Cikarang.
Namun, tantangan tetap ada: komponen inti seperti chip dan baterai belum bisa diproduksi di dalam negeri.
3. Kenaikan Permintaan untuk Elektronik Ramah Lingkungan
Meski bukan prioritas utama, 23% konsumen usia 18–35 tahun menyatakan mempertimbangkan jejak karbon perangkat (Greenpeace Indonesia, 2025). Ini mendorong merek seperti Samsung dan Apple memperkenalkan program daur ulang dan kemasan ramah lingkungan.
Studi Kasus: Dampak di Sektor Pendidikan dan UMKM
- Pelajar dan Mahasiswa: Banyak yang memilih laptop bekas atau tablet murah untuk kuliah online. Program KIP Laptop dari Kemdikbud hanya menjangkau sebagian kecil, sehingga kesenjangan akses digital masih ada.
- UMKM: Usaha kecil kini lebih selektif membeli kasir digital atau printer. Mereka memilih perangkat Android murah dengan aplikasi kasir sederhana, bukan sistem POS mahal.
Proyeksi ke Depan: Menuju Konsumsi Digital yang Lebih Cerdas
Jika fluktuasi ekonomi berlanjut hingga 2026, tren berikut diprediksi akan menguat:
- Dominasi segmen mid-low: Merek lokal dan sub-brand global (Redmi, Realme, Galaxy A) akan menguasai 70% pasar.
- Ekosistem perangkat terintegrasi: Konsumen membeli satu merek untuk semua perangkat (HP, earphone, smartwatch) demi efisiensi.
- Ekonomi sirkular elektronik: Pasar refurbished, sewa elektronik, dan daur ulang akan tumbuh pesat.
- Digitalisasi UMKM sebagai pendorong permintaan: Kebutuhan kasir digital, printer QRIS, dan kamera live selling akan terus meningkat.
Kesimpulan
Fluktuasi ekonomi 2025 telah mengubah wajah konsumsi barang elektronik di Indonesia. Di satu sisi, tekanan inflasi dan nilai tukar mendorong kenaikan harga dan pengetatan anggaran rumah tangga. Di sisi lain, konsumen merespons dengan lebih cerdas, hemat, dan selektif—mengutamakan nilai guna daripada gengsi merek.
Bagi industri, tantangannya adalah menyeimbangkan daya saing harga, kualitas, dan inovasi dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian. Sementara bagi pemerintah, peluangnya adalah mempercepat industrialisasi komponen elektronik lokal dan memperluas akses teknologi yang inklusif.
Pada akhirnya, perubahan ini mencerminkan kedewasaan ekonomi konsumen Indonesia: tidak lagi tergoda oleh tren semata, tetapi memilih teknologi yang benar-benar mendukung produktivitas, pendidikan, dan kesejahteraan jangka panjang.

