1, Nov 2025
Pattimura: Api Perlawanan dari Maluku

Di antara derasnya arus sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, nama Pattimura berdiri tegak sebagai simbol keberanian, persatuan, dan semangat perlawanan rakyat Maluku. Ia bukan sekadar pahlawan lokal—ia adalah sosok nasional yang membuktikan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa lahir dari ujung timur Nusantara dan mengguncang fondasi kolonialisme Eropa.

Perjuangannya yang heroik pada tahun 1817 melawan Belanda menjadi salah satu episode paling mengharukan dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia. Meski hidupnya berakhir di tiang gantung, pesan terakhirnya—“Pattimura boleh mati, tetapi akan bangkit ribuan Pattimura lainnya!”—menjadi nubuat yang terus menginspirasi generasi demi generasi.

Artikel ini mengupas secara utuh sosok Pattimura: dari masa muda, latar belakang militernya, kepemimpinan dalam Perang Maluku 1817, hingga warisan abadi yang menjadikannya Api Perlawanan dari Maluku.


Identitas dan Masa Muda

Nama asli pahlawan ini adalah Thomas Matulessy, lahir sekitar tahun 1783 di Nusa Laut, sebuah pulau kecil di Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Ia berasal dari keluarga bangsawan Maluku yang memiliki kedudukan tinggi dalam struktur adat. Sejak kecil, ia dididik dalam nilai-nilai keberanian, kehormatan, dan tanggung jawab sosial.

Karena kecerdasan dan ketangkasannya, Thomas direkrut menjadi tentara oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Setelah VOC dibubarkan pada akhir abad ke-18, ia bergabung dengan pasukan Inggris saat mereka menguasai Maluku (1810–1816). Di bawah komando Inggris, ia naik pangkat hingga menjadi Sersan, menguasai taktik perang modern, penggunaan senapan, dan strategi pertahanan benteng.

Namun, ketika Belanda kembali berkuasa di Maluku pada 1816 berdasarkan Konvensi London (1814), kekecewaan Thomas memuncak. Kebijakan kolonial Belanda yang represif, diskriminatif, dan eksploitatif—terutama dalam monopoli rempah—memicu kemarahan luas di kalangan rakyat Maluku.

Dari sanalah Thomas Matulessy bertransformasi menjadi Kapitan Pattimura—pemimpin perlawanan yang siap mengorbankan segalanya demi kebebasan tanah air.


Latar Belakang Perang Pattimura (1817)

Kembalinya Belanda ke Maluku disambut dengan harapan akan keadilan. Namun, kenyataannya justru sebaliknya:

  • Belanda memberlakukan monopoli ketat atas cengkeh dan pala—komoditas utama Maluku.
  • Rakyat dipaksa menanam rempah sesuai kuota, dengan harga yang ditentukan sepihak oleh Belanda.
  • Sistem kerja rodi diberlakukan untuk membangun benteng dan infrastruktur.
  • Para kepala suku dan bangsawan lokal diabaikan, bahkan dihina.
  • Diskriminasi rasial terhadap pribumi semakin parah.

Puncak ketegangan terjadi ketika Gubernur Jenderal Belanda di Maluku, J. F. van Middelkoop, menolak permohonan para pemuka adat untuk mengembalikan hak-hak tradisional mereka. Rakyat Maluku merasa dikhianati—setelah membantu mengusir VOC dan bekerja sama dengan Inggris, mereka justru diperlakukan sebagai budak di tanah sendiri.

Dalam suasana penuh amarah, para pemimpin dari Nusa Laut, Haruku, Saparua, dan Seram berkumpul. Mereka sepakat: waktunya melawan.


Perang Pattimura: Serangan Fajar yang Mengguncang Belanda

Pada 14 Mei 1817, Pattimura dan pasukannya mulai bergerak. Tujuan utama: Benteng Duurstede di Pulau Saparua—simbol kekuasaan Belanda di Maluku Tengah.

Dini hari 15 Mei 1817, serangan dimulai. Dengan menggunakan tangga rotan dan senjata tradisional yang dipadukan dengan senapan rampasan, pasukan Pattimura berhasil mendaki tembok benteng yang dianggap tak tertembus. Dalam hitungan jam, benteng jatuh.

Residen Belanda, Van den Berg, beserta istrinya, anak-anaknya, dan 40 tentara tewas. Hanya dua orang yang selamat: seorang gadis kecil bernama Martha Christina Tiahahu (yang kelak juga menjadi pahlawan) dan seorang nyonya Belanda yang bersembunyi.

Kemenangan ini menyebar cepat. Seluruh Maluku Tengah bangkit. Pattimura diangkat sebagai pemimpin tertinggi perlawanan dengan gelar “Kapitan Pattimura”. Ia membentuk pemerintahan sementara, mengatur logistik, dan mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, menuntut pengakuan atas kedaulatan rakyat Maluku.


Strategi dan Persatuan Antar-Suku

Salah satu kehebatan Pattimura terletak pada kemampuannya menyatukan suku-suku yang berbeda—Nusa Laut, Haruku, Saparua, Seram, dan Ambon—dalam satu front perjuangan. Ia memahami bahwa kemenangan hanya mungkin jika rakyat bersatu.

Ia juga piawai dalam strategi gerilya maritim: memanfaatkan pulau-pulau kecil sebagai basis persembunyian, menyerang kapal Belanda, dan memotong jalur logistik musuh. Pasukannya cepat, gesit, dan sangat mengenal medan.

Namun, Belanda tidak tinggal diam. Mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Jenderal A. J. van Braam, lengkap dengan kapal perang dan artileri berat.


Pengkhianatan, Penangkapan, dan Eksekusi

Perlahan, Belanda merebut kembali wilayah yang dikuasai rakyat. Yang lebih menyakitkan, pengkhianatan dari dalam mulai muncul. Beberapa kepala suku, tergoda oleh iming-iming jabatan atau takut pada kekejaman Belanda, mulai membelot.

Pada November 1817, Pattimura bersembunyi di Gunung Siri-Siri, Saparua. Namun, ia dikhianati oleh salah satu pengikutnya dan ditangkap oleh pasukan Belanda.

Ia dibawa ke Ambon, diadili secara kilat, dan dijatuhi hukuman gantung. Pada 16 Desember 1817, Pattimura dieksekusi di depan Benteng Victoria, bersama tiga rekannya: Anthony Reebhok, Philip Latumahina, dan Said Perintah.

Sebelum ajal menjemput, ia menyampaikan pesan abadi:

“Pattimura boleh mati, tetapi akan bangkit ribuan Pattimura lainnya!”


Pengakuan Nasional dan Warisan Abadi

Meski perjuangannya terjadi 128 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, Pattimura diakui sebagai salah satu pahlawan nasional pertama yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Pada 6 November 1973, Presiden Soeharto menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 87/TK/1973.

Nama Pattimura kini melekat di berbagai institusi dan infrastruktur nasional:

  • Universitas Pattimura (Unpatti) di Ambon
  • Bandar Udara Internasional Pattimura, pintu gerbang Maluku
  • KRI Pattimura, kapal perang TNI AL
  • Patung Pattimura di Jakarta (depan Gedung DPR) dan Ambon
  • Hari Pattimura diperingati setiap 15 Mei di Provinsi Maluku

Nilai-Nilai yang Layak Diwarisi

  1. Persatuan dalam Keberagaman – Ia menyatukan suku-suku yang berbeda demi tujuan bersama.
  2. Kepemimpinan Berbasis Moral – Ia memimpin dengan contoh, bukan paksaan.
  3. Perlawanan terhadap Eksploitasi – Ia melawan monopoli yang merugikan rakyat.
  4. Kesetiaan pada Tanah Air – Ia rela mati demi kehormatan bangsa.

Penutup

Pattimura mungkin gugur di usia muda, tetapi semangatnya abadi. Ia adalah nyala api pertama dari perlawanan rakyat Maluku yang terus menyala hingga kini. Di tengah keindahan laut biru dan rempah harum Maluku, tersimpan jejak perjuangan yang mengajarkan: kebebasan tidak datang begitu saja—ia harus diperjuangkan.

Di era modern, ketika tantangan bangsa berubah—dari penjajahan fisik menjadi ketimpangan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan pengabaian terhadap daerah pinggiran—semangat Pattimura tetap relevan: berdiri tegak melawan ketidakadilan, menjaga martabat tanah air, dan memperjuangkan hak rakyat kecil.

“Tanah ini milik kami. Kami lahir di sini, kami mati di sini—tapi kami tidak akan pernah tunduk!”

Api Pattimura masih menyala. Dan selama ada ketidakadilan, selama itu pula api itu akan terus membakar hati setiap anak bangsa yang mencintai keadilan dan kebebasan.