1, Nov 2025
Mohammad Hatta: Sang Proklamator dengan Pikiran Ekonomi Kerakyatan

Jika Soekarno adalah sang orator yang membara dengan retorika kemerdekaan, maka Mohammad Hatta adalah arsitek tenang di balik gagasan-gagasan besar yang menjadi fondasi Republik Indonesia. Sebagai Wakil Presiden pertama sekaligus Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Hatta dikenal bukan hanya karena perannya dalam menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi juga karena visi ekonominya yang berpihak pada rakyat kecil—yang ia sebut sebagai “ekonomi kerakyatan”.

Intelektual, negarawan, dan pejuang kemerdekaan yang rendah hati ini percaya bahwa kemerdekaan politik harus diikuti oleh kemerdekaan ekonomi. Baginya, bangsa yang merdeka belum benar-benar merdeka jika rakyatnya masih miskin, tergantung pada asing, dan tidak memiliki kendali atas sumber daya sendiri.

Artikel ini mengupas secara utuh kehidupan, pemikiran ekonomi, kontribusi politik, serta warisan Mohammad Hatta sebagai salah satu tokoh paling visioner dalam sejarah Indonesia.


Masa Muda dan Pendidikan Intelektual

Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 12 Agustus 1902. Ayahnya, Haji Muhammad Djamil, meninggal ketika ia masih bayi, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya, Siti Saleha, dan keluarga besar dari kalangan ulama dan cendekiawan Minangkabau.

Sejak kecil, Hatta menunjukkan ketertarikan luar biasa pada ilmu pengetahuan, terutama ekonomi dan filsafat. Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), lalu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan melanjutkan ke Handels-Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Belanda, pada tahun 1921.

Di Belanda, Hatta tidak hanya menyerap ilmu ekonomi modern, tetapi juga aktif dalam gerakan perjuangan kemerdekaan. Ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa Hindia yang awalnya bersifat sosial, tetapi di bawah kepemimpinannya berubah menjadi gerakan politik anti-kolonial.

Pada 1922, PI mengumumkan prinsip “Indonesia Merdeka”—sebuah langkah berani yang membuat Hatta dan rekan-rekannya diawasi ketat oleh pemerintah kolonial Belanda.


Perjuangan Tanpa Senjata: Diplomasi dan Ideologi

Berbeda dengan banyak pejuang yang mengangkat senjata, Hatta memilih perjuangan intelektual dan diplomasi sebagai senjatanya. Ia percaya bahwa kemerdekaan harus dibangun di atas fondasi pemikiran yang kuat.

Pada 1927, ia ditangkap oleh otoritas Belanda karena pidatonya yang menyerukan kemerdekaan penuh. Dalam persidangan yang dikenal sebagai “Pidato Pembelaan Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka), Hatta menyatakan:

“Kami tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut hak!”

Ia dihukum penjara, lalu diasingkan ke Boven Digoel (Papua) pada 1936, dan kemudian ke Bandaneira (Maluku) pada 1938. Namun, bahkan dalam pengasingan, ia terus menulis, membaca, dan merancang masa depan ekonomi Indonesia.


Peran dalam Proklamasi dan Pemerintahan Awal

Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno segera bertindak. Di tengah tekanan dari para pemuda revolusioner, mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hatta menjadi Wakil Presiden pertama, sekaligus Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dalam kabinet awal Republik Indonesia.

Dalam masa-masa kritis awal kemerdekaan—menghadapi agresi militer Belanda, blokade ekonomi, dan ancaman disintegrasi—Hatta menjadi penyeimbang Soekarno. Jika Soekarno berapi-api dengan nasionalisme dan simbolisme, Hatta tenang, rasional, dan fokus pada tata kelola negara yang efektif.


Visi Ekonomi Kerakyatan: Menolak Kapitalisme dan Komunisme

Salah satu warisan terbesar Hatta adalah pemikiran ekonominya. Ia menolak dua sistem ekonomi dominan saat itu:

  • Kapitalisme liberal, yang menurutnya menciptakan kesenjangan dan eksploitasi
  • Komunisme, yang dianggapnya mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan individu

Sebagai gantinya, Hatta mengusulkan sistem ekonomi koperasi sebagai wujud nyata dari demokrasi ekonomi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33:

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Bagi Hatta, koperasi adalah bentuk ideal ekonomi kerakyatan karena:

  • Dimiliki dan dikelola oleh rakyat
  • Mengedepankan gotong royong, bukan persaingan
  • Memberdayakan usaha kecil dan menengah
  • Menjauhkan bangsa dari dominasi modal asing

Ia sering berkata:

“Ekonomi kita harus berakar pada desa, bukan pada gedung-gedung bank di kota.”


Konflik Politik dan Pengunduran Diri

Pada era Demokrasi Terpimpin (1959–1965), ketika Soekarno semakin condong ke kiri dan mendekati PKI, Hatta memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden pada 1956—bukan karena keinginan pribadi, tetapi karena prinsip.

Ia tidak setuju dengan:

  • Sentralisasi kekuasaan di tangan presiden
  • Pengabaian terhadap konstitusi
  • Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat
  • Retorika revolusioner tanpa program konkret

Meski mundur dari politik praktis, Hatta tetap aktif menulis, memberi kuliah, dan mengkritik kebijakan pemerintah dari sudut pandang akademis dan moral.


Wafat dan Penghormatan Abadi

Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 di Jakarta, pada usia 77 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan penuh kehormatan.

Pada 1952, ia telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, meski ia sendiri menolak segala bentuk pemujaan pribadi. Ia lebih suka dikenang sebagai “pelayan rakyat” daripada “tokoh besar”.

Nama Hatta diabadikan di berbagai tempat:

  • Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (bersama Soekarno)
  • Universitas Bung Hatta di Padang
  • Patung Hatta di depan Gedung DPR/MPR
  • Perpustakaan Nasional menyimpan arsip lengkap pemikirannya

Warisan Pemikiran yang Relevan di Era Modern

Di tengah ketimpangan ekonomi, dominasi korporasi global, dan krisis identitas ekonomi nasional, pemikiran Hatta justru semakin relevan:

  • Koperasi kembali didorong sebagai pilar ekonomi desa
  • Kemandirian ekonomi menjadi isu sentral dalam kebijakan luar negeri
  • Ekonomi inklusif digaungkan sebagai alternatif kapitalisme ekstrem

Hatta mengajarkan bahwa pembangunan ekonomi harus dimulai dari bawah, bukan dari atas. Bahwa kemakmuran sejati lahir dari pemberdayaan rakyat, bukan dari utang luar negeri atau investasi asing yang eksploitatif.


Penutup

Mohammad Hatta adalah negarawan sejati: tenang, jujur, cerdas, dan tak pernah mencari popularitas. Ia rela dikritik, diasingkan, bahkan dilupakan demi mempertahankan prinsip keadilan dan kebenaran.

Dalam sejarah Indonesia, ia adalah penyeimbang sempurna bagi Soekarno—dua sisi mata uang yang sama: satu membara dengan mimpi, satu lainnya membangun mimpi itu dengan fondasi yang kokoh.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
— Soekarno

Tetapi Hatta menambahkan:

“Dan jangan sekali-kali membangun masa depan tanpa keadilan ekonomi.”

Semoga semangat ekonomi kerakyatan yang diperjuangkan Bung Hatta terus menjadi kompas bagi pembangunan Indonesia yang adil, berdaulat, dan berkeadilan sosial.